Sabtu, 20 Agustus 2016

Cerpen : Cerita Kerikil Tentang Seorang Lelaki



Cerita Kerikil Tentang Seorang Lelaki

By : KhaniFFauzan

 

Tidak seperti biasanya, kulihat keadaanmu sekarang yang sangat berbeda. Kau sedang duduk terpekur bermadikan keringat, dibawah Patung Sang Arjuna yang gagah. Matamu nanar, menatap sliwer mobil-mobil bergerak mengelilingi bundaran patung itu. Engkaulah yang mereka kelilingi, begitulah kira-kira perasaanmu. Melihatnya, kadang kau tertawa sampai terlihat gigi-gigimu yang ompong. Tak jarang pula engkau merintih meratapi takdir.
            Roda-roda nasib bergerak cepat menggerus permukaan rona hidup. Selalu berjalan laiknya hembus angin menerpa wajah. Kadang meniupkan semilir kasih dan rindu, kadang pula menderukan kecamuk badai eligi. Engkau sedang berjuang dalam badai itu sekarang. Dan saat ini kau sedang berputus asa.
            Ramadhan telah puluhan kali kau rayakan bersama keluarga. Selama ini, aku selalu melihatmu tertawa sembari menggendong sang buah hati, manakala engkau berjalan ke masjid itu. Disana, kau selalu melantunkan puji-pujian pada-Nya. Dapat kulihat diantara awan-awan yang melingkar pada pekatnya malam, lantunan indahmu menembus petala langit.
            Sungguh bahagia menjadi dirimu, itulah yang ku pikirkan waktu pertama melihatmu. Engkau menikmati hidup dengan penuh kebahagiaan. Engkau bisa selalu sujud dan selalu memohon dalam do’a-do’amu demi kebaikan hidup atau matimu. Dan aku selalu iri, engkau selalu dapat berkumpul dan memanfaatkan waktumu dengan orang-orang suci. Menjadi dirimu adalah sebuah anugerah.
            Sedangkan aku? Setiap hari bergumul dengan debu-debu kotor yang selalu menghiasi wajahku, terinjak puluhan kaki-kaki makhluk tanpa pernah memperdulikanku. Aku hanyalah sebuah kerikil tajam yang selalu terhempas dan terlupakan. Entah bagaimana bisa diriku ada di sini, padahal semula posisiku ada di depan masjid. Jauh dari Patung Sang Arjuna
            Kuhabiskan waktuku tenggelam dalam keremangan hidup. Berkenalan dengan desir kafilah yang senantiasa menampar-nampar wajahku. Atau menjadi sasaran tendangan laiknya bola setiap ada manusia usil yang lewat. Banyak kawanku berakhir tergerus sedikit demi sedikit menjadi butiran pasir halus, tanpa sempat ucapkan selamat tinggal padaku.
            Tuhan telah menciptakan neraka dimana bahan bakarnya para manusia dan batu. Semua batu di dunia akhirnya akan ada di sana. Ah, malang sekali nasibku.
            Namun pada akhirnya Tuhan menciptakan segalanya sesuai pada tempatnya. Semua anganku agar diriku jadi sepertimu sirna sudah, melihatmu begini. Tepat disamping kakimu, kau curahkan semua kepedihan hatimu selama ini padaku. Sebuah kisah berselimut sendu mengalun bersama dingin malam yang makin menggigit kulitmu. Penghibur, sekaligus penyadar akan rasa syukurku pada-Nya.
***
            Saat itu, engkau masih menjadi seorang mahasiswa yang sedang menikmati masa mudanya. Selalu saja kau habiskan waktumu dalam kesia-siaan tak berujung seakan dunia hanyalah semua yang pernah dinikmati didepan mata.
            Hingga akhirnya kau terpuruk dalam jurang kesengsaraan. Utang-utangmu menumpuk. Teman-teman yang dulu membangga-banggakan dunia bersamamu telah pergi. Keluargamu berubah membencimu karena tahu, narkoba telah berhasil menjeratmu. Selama bertahun-tahun, waktumu habis untuk menangis dalam penjara.
            Di dalam penjara, kau selalu terpekur menyesali segalanya. Reputasimu sebagai mahasiswa teladan inspirasi sesamamu, hancur sudah. Segudang prestasi akademis yang susah payah kau kumpulkan, seakan tak ada bedanya dengan butiran debu yang lenyap oleh angin. Hanya karena satu jerat setan bernama narkoba, hidupmu menjadi tak ada artinya.
             Sampai pada suatu ketika di bulan ramadhan, dalam semarak sayup-sayup lantunan puji-pujian agung, kau menemukan setitik lentera terang tepat di pelupuk matamu. Seorang manusia mulia telah Tuhan kirimkan demi menuntunmu kembali pada-Nya, melalui kata-kata bijak yang ia lontarkan sewaktu khutbah dalam masjid penjara.
            “Ingatlah bahwa Allah sangatlah keras siksanya. Dia membalas semua perbuatan buruk manusia, walau setitik noktah yang dilakukan. Namun jangan lupakan bahwa Ia adalah Dzat yang maha pengampun. Walau ancamannya amat pedih, ia tetap akan menerima siapapun hamba-hambanya yang ingin kembali pada-Nya. Dia tahu seberapa besar dosa-dosa hambanya, namun Dia tak perduli bilamana hamba itu mau bertaubat dan kembali ke jalan yang benar”
            “Allah itu maha perkasa, maha penyiksa. Tapi ia juga maha pengampun, maha penyayang. Rahmat-Nya mendahului murka-Nya, maka jangan sia-siakan umur demi menyesali dosa-dosa. Segeralah bertaubat pada-Nya saudara-saudaraku”
            Seperti air pegunungan yang merembes di sela-sela bebatuan cadas, nasehat itu perlahan mengikis kerasnya hatimu. Sejuk terasa terpatri memenuhi rongga-rongga dadamu yang kosong akan hidayah Tuhan, menjadikanmu lapang selapang-lapangnya. Di matamu, semua dosa-dosa yang membelenggu akhirnya lenyap sudah, karena hadirnya cahaya yang kini perlahan menerangi hati. Engkau tak lagi berputus asa. Tangisanmu berubah menjadi tangis rindu akan ampunan. Seperti sebuah tanaman layu yang disiram kembali, engkau sekarang benar-benar hidup.
            Sepuluh tahun kemudian, engkau keluar dari penjara. Engkau berubah menjadi sama layaknya para manusia suci. Teman-teman sesama napi yang semula saling membenci, berubah saling menyayangi karenamu. Mereka selalu mendoakan keselamatanmu waktu kau akan berpisah dengan mereka. Sahabatmu sesama napi bernama Salim memberi nasehat berharga padamu sebelum kau benar-benar berpisah,
            “Ingatlah selalu pada kami ya, San. Dan jangan lupakan shalat seperti nasehatmu pada kami semua. Jaga selalu imanmu, karena sekarang engkau akan menghadapi dunia”
            Kau memeluk mereka seketika. Erat. Hingga meneteskan linangan haru. Semuanya menyayangimu, dan semuanya berat sekali melepaskanmu.
            Dunia lalu engkau hadapi. Jatuh, bangun, terjerembab, gagal, pantang menyerah selalu berusaha. Kau juga mulai mengenal wanita. Dalam masa-masa yang sulit, engkau menikah dan mempunyai dua anak yang lucu.
            Babak baru hidupmu dimulai, saat kau sadari Tuhan mulai mencurahkan rezeki berlipat di atasmu. Seperti air terjun, disana-sini engkau jumpai rezeki. Usahamu berdagang pakaian milik Juragan Kumar secara jujur dan penuh keikhlasan ternyata tak sia-sia.
            Para ustadz, hafidz, dan orang-orang shalih lainnya kau kenali. Rajin sekali kakimu melangkah ke rumah Tuhan, sebagai awal mula ku mulai bertemu denganmu. Seluruh keluarga kau ajak serta, menuju kerinduan akan kasih sayang sang pencipta. Lebih-lebih bila ramadhan datang dengan semilir rahmat-Nya, seakan rumahmu satu-satunya hanya masjid.
             Bertahun-tahun lama sekali engkau menikmati hidupmu. Namun, waktu ternyata menetapkan dirinya akan batasan nikmatmu. Roda takdir kembali berubah.
            Dua anakmu yang mengemaskan kini beranjak menjadi dua orang mahasiswa ternama. Engkau bersyukur punya anak seperti mereka, yang selalu taat akan perintah dan nasehatmu. Kau senang berhasil mendidik mereka dengan baik. Agama menjadi nomor satu bagi mereka, ilmu dunia telah berhasil mereka usahakan.
            Tapi kau terlalu sibuk dengan urusan mencari nafkah. Kau anggap semua baik-baik saja, hingga luput perhatianmu akan mereka.
            Saat itu Januari, dimana hujan deras selalu mengguyur sehari-hari. Langit malam makin pekat dengan deru hujan membasahi bumi. Kau sedang berleha-leha membaca koran sambil menikmati secangkir kopi manis. Istrimu juga menikmati waktunya dengan menonton sinetron. Tiba-tiba pintu rumahmu diketuk. Kau buka pintu rumahmu. Kau dapati anak pertamamu basah kuyup terkena hujan.
            Kau dapati mulutnya bau busuk alkohol. Ketika kau lihat kedua matanya, serupa seperti mata ikan mati. Engkau mulai curiga dan memberondong berbagai pertanyaan padanya tanpa ampun, tanpa sempat kau suruh dia mengganti pakaian. Ia menjawab semuanya sambil menahan dingin menggigil.
            Tanpa pernah engkau menyadarinya, ia telah terjebak dalam miras dan narkoba. Dua hal yang paling kau benci seumur hidupmu.
            Seharusnya setelah ia begitu jujur, engkau lebih bijaksana menyikapinya.
            Namun teramat mudah amarahmu tersulut. Kau tampar dia, engkau caci maki sosoknya. Walau ia berkali-kali bersimpuh di kakimu mengharap kata maaf, tetap saja kau bergeming. Pikiranmu ternyata masih begitu dangkal untuk menerima keadaan semacam ini. Dengan nafas terengah, kau usir dia di tengah dingin mencekat leher-leher.
Harapan akan kembali pupus sudah. Kau sirami benih keputusasaannya dengan kemarahan. Kau tak lagi mendengar kabar keberadaannya hingga lima bulan kemudian.
Ia ditemukan di kost-annya, terbaring lemah bersimbah darah di sekujur tubuhnya. Sebilah pisau masih ia genggam dengan nafas tersengal dan detak nadi yang makin melemah. Ia tidak mencoba bunuh diri. Namun, hal itu disebabkan akibat penganiayaan sejumlah bodyguard rentenir karena ia tak kunjung membayar hutangnya. Hutangnya menumpuk guna membeli narkoba dan alkohol.
Di rumah sakit, ia hembuskan nafas terakhirnya. Namun sebelum ia meninggal, ia masih sempat mengucapkan beberapa patah kata padamu,
“Maafkan aku ayah, aku bukanlah anak yang baik untukmu. Tolong ridhailah diriku yah, sebelum aku meninggalkanmu selamanya”
Engkau menangis. Kau menyesal. Kau cium jasadnya berbau harum tanpa parfum. Jauh-jauh hari sebelum kematiannya, ia telah bertaubat. Namun sayang sekali, sesalmu tiada gunanya.
Lalu sedikit demi sedikit kesedihan menimpamu. Kau terlalu tenggelam dalam kesedihan akan hal itu, hingga membuat bisnis dagangmu terbengkalai. Istrimu pontang panting membiayai keluarga, padahal kau tahu tubuhnya sangatlah lemah. Anak keduamu membencimu dan menyalahkan akan kematian kakaknya. Ia pergi dari rumah, selamanya.
Pada awal ramadhan, kau tinggalkan segalanya yang mengingatkanmu pada anakmu. Manusia adalah makhluk yang paling rapuh, sangat rapuh hatimu ketika menyikapi keadaan. Terlunta-lunta, dirimu terseok-seok sepanjang jalan. Kau dianggap gila, menjadi gelandangan yang kerap terhempas kehidupan jalanan.
Hingga akhirnya, kau meratapi nasibmu di sini. Bersamaku, yang masih setia mendengarkan keluh kesahmu.
***
Aku hanyalah kerikil tajam. Kecil, terlupakan selalu dalam setiap waktu. Namun aku bersyukur tak menjadi manusia yang berhati rapuh dan mudah terombang-ambing akan keadaan. Aku tak pernah merasa sakit atau pun sedih yang membuatku meratapi akan nasib yang selalu menderu.
Kalau aku bisa bicara dan bergerak, akan kutampar dia dan ku maki-maki dirinya agar sadar dengan keadaan. Selalu, nasib itu terus meroda. Bila manusia tak dapat menghadapi kenyataan, untuk apa mereka hidup? Inti dari hidup adalah berkelahi, maka hadapilah dunia untuk memenangkannya.
Manusia punya Tuhan, dan mereka selalu menyembahnya. Maka, manfaatkanlah Tuhan untuk berkeluh kesah. Dia yang kuasa mengatur hidup. Dia takkan meninggalkan manusia sendirian. Seperti ketika dalam penjara, dirinya bisa bangkit karena Tuhan. Mengapa saat ini dirinya tak bisa bangkit lagi?
Saat ku masih mencaci dirimu dalam diam, sebuah mobil berhenti di depanmu. Keluar dari dalamnya, seorang pemuda tampan yang terlihat cemas menatapmu.
“Ayo pulang ayah! Sudah setahun engkau tinggalkan rumah, anakmu ini bingung mencarimu kemana-mana. Lupakan segalanya! Semua telah berlalu”
Ia lalu mengamit lenganmu, lalu memasukkanmu ke dalam mobilnya. Tak perduli akan bau busuk yang menguar dari sela-sela ketiakmu.
Oh sial, aku kembali merasa iri pada manusia. Meski mereka melemah, jatuh, atau terjerembab ke jurang sekalipun, masih ada yang menyayanginya. Mereka ada dan kuat mengatasi roda nasib karena ada yang menemani perjuangannya.
Kembali ku sendiri disini, ditemani cakrawala yang perlahan mengumpulkan gumpalan awan, meneteskan rintik hujan.
Boyolali, 18 Juni 2016

Cerpen : Orang Lemah


Orang Lemah

By : KhaniFFauzan

 

            Manusia yang paling mengenaskan adalah orang lemah. Selalu, mereka tertindas dihimpit orang-orang sok kuat yang kerap di laknat. Orang lemah adalah budak, bidak, selalu mati paling awal dalam setiap peperangan. Kebanyakan adalah beban memberatkan yang tak jarang menambah kematian (cenderung dilindungi-tidak bisa balik melawan). Disisi lain, mereka hanyalah makhluk tak berguna.
            Itulah faktanya. Saat aku berjalan bersendak-sendak.
            ‘Bugh!!’
            Sekepal tangan melayang di pelipisnya. Muka dan dada lebam-lebam semua.
            ‘Duash!’
            Tubuhnya melayang berdebum kena tendangan keras. Ia meringkuk memegangi perutnya yang kesakitan. Sayang sekali, kembali memantul di kulit-kulitnya makian dan perpeloncoan.
            Entah bagaimana hal ini dapat terjadi setiap hari. Di belakang sekolah, lima monster hasil evolusi setan gila, mengeroyok satu kelinci. Aku heran, kenapa kelinci itu tak mati-mati?
            ‘Brugh’
            Para monster lalu meninggalkan si orang lemah setelah puas mempermainkannya. Sendiri, di pojokan gedung ia luka lara di tahannya. Isi dompet miliknya berhamburan keluar, hanya tersisa belenggu penderitaan.
            Dan aku hanya termangu melihatnya. Pemandangan yang sering terjadi saat ingin ke kantin.
***
            Dani namanya. Ringkih orangnya.
            Tiada berliter-liter air matanya tumpah kecuali mengingat ibunya bersemayam di alam baka. Selama 5 tahun 5 bulan 5 hari, tak lepas segala kenangan dari benaknya tentang senyuman itu. Selalu bibirnya merintih lewat doa-doa, memohon Yang Kuasa tuk selalu merawat sosok cintanya dalam damai. Dalam diam, dalam dekapan, bunga-bunga ilalang berhamburan di hatinya. Menebarkan semerbak kasih sayang.
            Dirinya begitu baik. Penuh cinta setiap helai uraian kisah sedihnya. Dekil sosoknya, miskin dompetnya, merah matanya kurang tidur. Sayang, lima Iblis selalu menambah penderitaannya.
            Namun, tak peduli bagaimanapun ia, itu semua bukan urusanku.
***
            Manusia yang suka menindas adalah wujud dari setan. Muka mereka keruh bak lumpur, sampai semut-semut enggan menengok sosoknya-takut kena tula.
            Sebab musabab para setan jadi biadab karena perbuatan Dani yang tak di sengaja. Sore waktu itu, alkohol berkaleng-kaleng di belakang sekolah, Dani kebetulan memergoki. Dia telah berjanji, namun entah bagaimana, kabar itu bisa merasuki telinga-telinga penggosip. Kicau burung merepet bisik-bisik, sampai akhirnya para setan dilaknat Dewa sekolah. Skorsing total. Pengangguran edan.
            Menyimpan dendam, seperti menaruh bangkai dalam dada. Makin hari makin tengik, jadi penyakit, jadinya semua ikutan busuk. Hati busuk, mulut busuk, otak busuk, sampai panca indera senang menikmati hal-hal busuk. Kalau barang sudah busuk, jadinya harus dibuang ke tempat sampah. Agar sampah musnah, semuanya itu dibakar dalam neraka.
            Sayang, Tuhan belum membakarnya. Mereka masih menikmati waktu-waktu gila.
            Kurang puas hanya menganiaya, mereka ingin merusak segalanya tentang Dani. Sepulang sekolah, kelimanya menyerbu apartemen Dani berdengus-dengus. Ada yang menyaksikan tragedi itu, tapi emang sih sifat dasar manusia maunya aman-aman aja. Ada pula manusia lewat lalu sembunyi-itu aku, sinting merekam peristiwa itu penuh senyuman. ‘Pasti banyak subscribe di YouTube!’ kata sorot matanya.
            Menggunakan tongkat bisbol, kepala di hempaskan. Kaki menjejak-jejak punggung, kursi-kursi di lemparkan. Ruang tamu jadi kapal pecah. Semua jendela kaca pecah, mereka koor berteriak senang! Dani batuk darah.
            Dia jatuh telungkup ditindih, tangannya diikat jemari ke punggungnya. Helai rambut ditarik keras. Seorang raksasa ada di depannya. Tersenyum lebar. Menggenggam dompetnya. Beberapa lembar uang berpindah ke kantung kumal, oh sebuah foto hitam putih terselip.
            Dani berteriak ‘Jangan!’
            Mata raksasa itu membulat.
            Tanpa banyak cingcong, gambar itu tercerai berai jadi serpihan yang diinjak-injak.
            Tak cukup, demikianlah tak cukup.
             Semua senyuman dalam bingkai, hancur berkeping-keping di depan Dani. Mereka robek, mereka bakar jadi abu. Sisanya bertaburan pada wajahnya. Bergetar rongga-rongga dadanya.
            Pekik mendengking berisik. Setan jahat pada tertawa tersedak-sedak macam kejang-kejang habis menenggak sianida. Sampai hampir mampus, mereka meninggalkannya terkapar.
            Lantas, kukirim video ini ke YouTube.
***
            Bukan muram, bukan senyum, bukan sedih, bukan gembira. Tak tahu itu ekspresi apa.
            Esok ia berangkat ke sekolah-tentu penuh lebam-tentu pakai tongkat-tentu ditanya ini itu banyak di kasihani. Sehari macam setan budek bin bisu. Tanpa ekspresi.
            Besoknya, kembali ke sekolah. Bawa tas, tapi tak ada buku. Tatapannya kosong dan nanar. Masih saja para biadab itu menganiayanya namun tidak mengambil uangnya. Udah abis brow!
            Besoknya lagi ia berangkat. Tanpa tas, tanpa buku, seragam masih seperti kemarin, awut-awutan. Lalat-lalat merubunginya. Guru menyuruhnya cuci muka. Tapi sampai akhir pelajaran, ia tak kembali.
            Kutu-kutu kepalanya berpesta pora akibat dekil sosoknya. Matanya merah, sayu. Tak ada yang benar-benar peduli-cari aman tanpa masalah. Bahkan para guru dan tetangganya begitu.
Sudah tiga hari berselang dalam hening.
Kulitnya mulai memutih pucat serupa mayat.
***
Hari keempat, hujan menerpa atap-atap seng bergemerincingan.
Dia tidak berangkat. Lagipula, hujan ini emang sejak tadi malam kerasan tak jua reda. Bertambah-tambah deru angin menghempas jagad. Hanya orang tak waras yang sembarangan keluar rumah menghadapinya. Di sinilah aku. Di temani tiga wanita dan lima pria pengangguran, dari total tiga puluh siswa. Guru-guru pada tidur di rumah semua.
Bel istirahat berdentang. Tiba-tiba lampu mati.
Semua keluar cari cahaya. Di langit, awan hitam bergulung-gulung. Desir kencang menampar-nampar wajahku beserta tampias dinginnya. Aneh? Perasaan takut apa ini?
Kelokan parit mengalirnya air kuamati jadi pelepas bosan. Lekat, dahiku berkerut-kerut. Alirannya bening, tapi lama-lama keruh. Berbau?
Langkah kakiku mengikuti arah kelokannya, coba cari penyebabnya. Berbelok-belok. Hujan-hujanan gak peduli.
Dan kini kusadari faktanya, saat aku berjalan bersendak-sendak.
Aku tersedak-sedak.
“Apa ini?!” Kilat muncul mencelap.
Demi Tuhan, sungguh, nanar mataku melihatnya. Bak habis tersengat kalajengking, badanku terjengkang, lemas, sempoyongan, terduduk mencengkram rambut basahku. Perutku tertohok macam habis di tendang orang, aku muntah-muntah beriak. Tersengal-sengal hebat!
Di belakang sekolah, di depan mataku, lima monster itu berubah menjadi cacahan daging bertumpuk-tumpuk. Kecil-kecil wujudnya, bisa di goreng layaknya potongan ayam. Semua terburai, semua tercerai berai. Anyir baunya berkelok jadi satu dengan aliran hujan sepanjang parit-parit.
Ada satu sosok yang masih hidup setengah badan. Wajahnya bergurat-gurat penuh luka menganga campur lumpur. Ia merintih minta tolong. Saat itulah kilatan pisau menembus tengkuknya sampai rongga mulut. Membungkam selamanya.
  Petir menyambar-nyambar. Sosok sang kelinci kini telah berubah jadi jagal. Kumal. Matanya bersinar-sinar. Tersenyum bibir pecah-pecahnya, sekujur tubuh warna merah semua. Pisaunya meneteskan darah segar.
“Freddy…” Lirih ia panggil namaku, “maafkan aku atas semua yang kau lihat ini. Kepada setan-setan aku tidak berharap hal-hal mengerikan. Ini adalah keadilan …”
Ia melangkah maju mendekatiku. Tergesa badanku mundur menggesek lumpur.
“Demi keadilan, takkan kubiarkan segalanya terulang kembali. Engkau selalu berada di sekitarku selama ini. Sayang, engkau buta. Kau biarkan segalanya terjadi. Aku takkan bertanya kenapa kau tak jua menolongku sebab kini, pertanyaan itu sudah basi. Orang sepertimu kelihatannya lebih cocok jadi mayat
Aku menggeleng, berbalik ingin berlari, dan terjatuh. “Tidak ..tidak Dani, maafkan aku!”
Semakin dekat. Pisau itu teracung acung. “Aku tak melihat, aku tak mendengar, aku tak mengerti. Hanya warna kematian yang ada di mataku ini”
Kakiku menjejak keras tanah berlumpur, semburat ketakutan mencuat. Trauma psikologis mengitari kepengecutanku. Seketika, bayang-bayang kematian telah datang menembusku.
Orang lemah tak selamanya lemah. Mereka bahkan menjadi lebih kejam daripada orang-orang sok kuat tanpa di sadari.
Boyolali, 29 Juli 2016

Cerpen : Mimpi-mimpi Semu



Mimpi-mimpi Semu



By : KhaniFFauzan

            Kesekian kalinya, mimpi itu terulang kembali.
            Sama. Setiap malam, mimpi itu datang menghampiriku. Dalam lelap, semua terasa begitu nyata, indah, dan menggetarkan dada. Aku melihatnya dengan jelas, sosoknya yang anggun, berparas bagai malaikat surga nan bercahaya. Dia membiusku melalui alunan romansa.
            Kulihat seorang putri sedang duduk manis diatas altar yang dikelilingi bunga-bunga. Mawar, melati, tulip, hembuskan semerbak mewangi. Menjulang tinggi aliran air dari sela-sela tebing terjal, menjadi panorama disekelilingnya. Sejuk terpatri dalam hati ditengah elok suasana cerah dimana awan berarak memenuhi cakrawala. Hangatnya sang mentari, menambah syahdu latar suasana. Memandang dirinya, menentramkan diri.
            Sayangnya, ku hanya bisa menikmati indah parasnya dari kejauhan. Di balik rimbun pepohonan, ku melihatnya bermain dengan alam. Kecipak air serta lantunan anggun bait-bait suci  menjadi kebiasaannya. Ketika ku tak dapat menahan diri untuk tak mendekatinya, tiba-tiba muncul semburat merah dari langit. Senja pun turun perlahan, bersamaan dengan sosoknya yang menghilang dalam keremangan.
            Lalu sepi ku sendiri.
            Saat ku terbangun, entah mengapa kurasakan getar-getar halus menjalari dadaku. Rona indahnya selalu terbayang lekat, pekat, membawaku menuju ranah khayali romansa. Bahaya sekali bila dada ini meledak.
            Di alam nyata, romansa berpadu dengan panah-panah asmara. Segala puji kuhaturkan pada Tuhan yang menanam benih-benih cinta ini, kudapat merasakan indahnya dunia ketika benih itu mulai tumbuh meliuk-liuk dalam hati. Cintaku berhulu dari mata, lalu bermuara dalam sosoknya.
Kujatuhkan rasa ini pada seorang wanita teman sekelasku, yang selama ini tak pernah ku perhatikan sebelumnya. Dua tahun melewati masa SMA, ternyata dialah yang senantiasa hadir dalam mimpi-mimpiku. Karin namanya. Awal mula ku merasakannya ialah, saat tangan kami tak sengaja bersentuhan ketika ku meminjam buku catatannya. Dunia seakan berubah.
Hingga saat ini, tak pernah ku alami mimpi yang lain.
***
            Denting besi memecah keheningan pagi. Waktu yang semula berhenti, kini terasa menggerus rona. Sayup-sayup, terdengar pekik tertahan dari sebuah gudang kopra yang busuk. Dapat disaksikan seonggok jasad wanita tergantung berayun-ayun ditengah ruangan. Bibirnya yang telah membiru, menandakan degup jantungnya telah berhenti selamanya.
            “Jangan kak! Jangan kau bunuh aku!” Seorang perempuan terseok-seok panik. Matanya memancarkan ketakutan, melihat sesosok lelaki mendekatinya dengan pisau terhunus di tangannya. Mulutnya menyeringai, seolah keluarkan aroma busuk pembunuh. Jiwanya sedingin ular, tanda hatinya telah mati. Perempuan itu mencoba melawan sia-sia. Disaat nafasnya tercekat rasa takut, sebilah pisau menusuk dadanya berkali-kali. Darah membanjiri lantai yang dingin.
            Seonggok jasad yang menggantung, seorang perempuan yang ditusuk, sang lelaki mengabadikan semua pemandangan ini dengan kamera.
***
            Satu hari yang lain dari biasanya, kali ini aku tidak melihat senyuman itu lagi. Dalam mimpiku, ia terlihat murung, seolah mengabaikan rayuan alam yang berusaha menghiburnya. Hawa eligi berhembus dari jiwanya, membuat bunga-bunga layu satu per satu. Sinar matanya kini meredup. Langit yang cerah kini mulai berselimut awan mendung. Apa yang terjadi? Kemana semua kebahagiaan itu lenyap? Hari ini, seakan itu bukanlah dirinya.
***
            Akhir-akhir ini marak terjadi kasus kekerasan dalam rumah tangga. Faktor ekonomi banyak menjadi masalah utama yang memicunya, disertai dengan sikap sang kepala rumah tangga yang cenderung senang menghabiskan uang untuk rokok dan judi, daripada memenuhi kebutuhan rumah tangga. Apalagi jika sang isteri terkenal sikap gila belanjanya, tentulah pailit ekonomi makin mencekik leher. Utang-utang menumpuk, rokok tak ada, judi kalah terus. Timbul stress berkepanjangan dalam keluarga, teutama sang suami. Karena hal itu, muncul percekcokan sebagai menu utama setiap hari, sehingga berujung kasus kekerasan dalam rumah tangga.
            Seperti itu yang terjadi pada Karin. Lima hari silam, mendung menaungi wajahnya yang muram karena masalah keluarganya. Kudengar tentang keadaannya dari sahabatku Amir, yang selama ini kuminta jawabannya atas persoalan cintaku.
Selama ini ku masih tak berani mengutarakan perasaanku, tapi ketika mendengar masalahnya kuingin membantunya. Apa yang harus kulakukan untuk membantunya jikalau ku memintanya membicarakan hal itu, ia menolaknya? Ia justru makin menghindar dari keramaian dengan menenggelamkan diri pada kesunyian. Tak lagi kulihat senyum manisnya, tak lagi kudengar canda tawanya, seakan dunia telah menjauh darinya.
Seiring waktu yang merangkak maju, tak pernah kulihat lagi sosoknya yang nyata.
***
Langit merah saga keunguan, bercampur hitamnya mendung tutupi rona cakrawala kuning, menjadi lambang eligi balada. Awan berarak melingkar-lingkar, semilir dingin mencekam tegakkan bulu roma. Bunga-bunga layu, kering kerontang. Air terjun dari tebing tak lagi jernih dengan warnanya yang cokelat pudar bercampur lumpur. Pepohonan meranggas, menyisakan cabang-cabang bagai tanduk setan. Tanah pecah-pecah, tak lagi subur. Di atas altar agung, wajahnya makin putus asa. Semua keadaan ini berbeda sekali semula, kontras bagai hitam dan putih.
Hening, sunyi. Mata lentiknya mengerjab-kerjab teteskan linangan intan.
Seperti membisik, hujan pun turun deras. Kosong, tanpa makna berarti. Ku tak ingin terus bersembunyi, tak perduli akan apa yang terjadi. Mimpi-mimpi yang kuhabiskan tuk melihatnya, mengapa berakhir seperti ini? Aku menyukainya. Aku ingin senyuman itu tetap ada, walau sesaat ia akan menghilang seperti biasanya. Diantara putihnya suasana, kedua tanganku meraba udara tuk mencari sosoknya yang ditelan hujan. Dingin, kembang kempis dadaku mati rasa.
“Dimanakah engkau putri? Kuingin kau kembali tersenyum lagi. Selama ini ku hanya bisa melihatmu dari kejauhan karena kau terus menghilang saat ku dekati. Ku tak mengerti akan dirimu, namun aku menyukaimu! Walau ku tak mengerti akan kesedihanmu, setidaknya biarkan aku di sampingmu. Menghiburmu, laiknya pujangga di hadapan kekasihnya. Tunjukkan dirimu, wahai panah asmaraku!”
‘Zrrash!’
Hujaman air tiba-tiba berhenti begitu saja. Lengking teriakanku seolah memantul diantara bebatuan tebing, menembus hatinya.
Tanpa kusadari, jemariku telah bertaut dengan lentik jemarinya. Dia tersenyum padaku, begitu menawan nan tulus.
Terasa bening. Beberapa patah kata ia bisikkan.
“Aku juga menyukaimu, pujanggaku. Ku selalu menghilang darimu karena ku takut engkau kan sedih saat kehilangan diriku. Sejak mimpimu hadir, ku telah menyadari tak lama ku bersemayam dalam anganmu. Aku hadir, untuk menghembuskan rasa cinta dalam hatimu agar kau dapat merasakannya, dan coba menyadari akan kekasih yang sesungguhnya di alam nyata. Aku hanyalah perwujudan romansa Tuhan. Dan suasana kontras yang engkau lihat adalah gambaran bagi kisah cintamu!
Engkau kan merasa kecewa dan sedih. Maafkan aku yang telah menunjukkan semua ini padamu. Selamat tinggal”
Di balik punggungnya, melebar dua sayap malaikat. Perlahan ia terbang, melepaskan tautan jemarinya dari tanganku. Terbang mesra meliuk-liuk bersama alunan angin, menyibak gumpalan awan hingga menembus cahaya Tuhan yang turun dari surga. Ia berpisah selamanya padaku. Itulah pertama dan terakhir kali ku sentuh sosoknya. Lembut bagai kapas. Berwarna seperti pudaran kilau pelangi.
***
Mimpi itu berakhir, menguap bersama lamunan semu.
Di sebuah rumah sederhana, berkibar bendera merah, tanda akan kematian seseorang. Saat itu aku merasa sangat marah, sedih, bercampur rasa kecewa. Semuanya berakhir dengan ending yang menyesakkan dada. Rumah Karin bagai lautan manusia. Para pelayat saling berdesakan dengan petugas kepolisian saat sebuah keranda besar di gotong enam lelaki kekar. Sayup-sayup yassin dan dzikir tahlil bak dengung ribuan lebah, mengiringi keranda yang satunya menuju pemakaman. Beberapa orang meratapi kematian itu, namun lebih banyak yang saling berbisik gosip dan pandangan takut.
Inti percakapan merekalah yang membuat perasaanku berbalik 180 derajat membenci Karin. Semua rasa cinta ini berakhir tragis.
Kata mereka, kenapa? Kenapa semua ini dapat terjadi padahal tak satupun anggota keluarganya membenci dirinya? Memang keluarganya itu menemui masalah ekonomi, tetapi ayahnya sama sekali tak pernah berlaku keras terhadapnya. Beberapa tahun terakhir ia sedang mengalami gangguan kejiwaan sehingga jati diri lelakinya ia sembunyikan dengan penampilannya sebagai wanita!
Mengapa ia tega membunuh ibu dan adik perempuannya hanya karena gangguan jiwa? Dan mengapa pula malah ayahnya yang ditangkap pihak kepolisian, sedang ia menghilang tak tahu rimbanya?
Semua khayalan dan mimpiku berakhir saat ini juga. Dia yang kucintai ternyata hanyalah seorang lelaki psikopat!
Boyolali, 13 April 2016
Genre : Fantasy, Romance, Mistery