Cerita Kerikil Tentang Seorang Lelaki
By : KhaniFFauzan
Tidak
seperti biasanya, kulihat keadaanmu sekarang yang sangat berbeda. Kau sedang
duduk terpekur bermadikan keringat, dibawah Patung Sang Arjuna yang gagah. Matamu
nanar, menatap sliwer mobil-mobil bergerak mengelilingi bundaran patung itu.
Engkaulah yang mereka kelilingi, begitulah kira-kira perasaanmu. Melihatnya, kadang
kau tertawa sampai terlihat gigi-gigimu yang ompong. Tak jarang pula engkau
merintih meratapi takdir.
Roda-roda nasib bergerak cepat
menggerus permukaan rona hidup. Selalu berjalan laiknya hembus angin menerpa
wajah. Kadang meniupkan semilir kasih dan rindu, kadang pula menderukan kecamuk
badai eligi. Engkau sedang berjuang dalam badai itu sekarang. Dan saat ini kau
sedang berputus asa.
Ramadhan telah puluhan kali kau
rayakan bersama keluarga. Selama ini, aku selalu melihatmu tertawa sembari
menggendong sang buah hati, manakala engkau berjalan ke masjid itu. Disana, kau
selalu melantunkan puji-pujian pada-Nya. Dapat kulihat diantara awan-awan yang
melingkar pada pekatnya malam, lantunan indahmu menembus petala langit.
Sungguh bahagia menjadi dirimu,
itulah yang ku pikirkan waktu pertama melihatmu. Engkau menikmati hidup dengan
penuh kebahagiaan. Engkau bisa selalu sujud dan selalu memohon dalam
do’a-do’amu demi kebaikan hidup atau matimu. Dan aku selalu iri, engkau selalu
dapat berkumpul dan memanfaatkan waktumu dengan orang-orang suci. Menjadi
dirimu adalah sebuah anugerah.
Sedangkan aku? Setiap hari bergumul
dengan debu-debu kotor yang selalu menghiasi wajahku, terinjak puluhan
kaki-kaki makhluk tanpa pernah memperdulikanku. Aku hanyalah sebuah kerikil
tajam yang selalu terhempas dan terlupakan. Entah bagaimana bisa diriku ada di
sini, padahal semula posisiku ada di depan masjid. Jauh dari Patung Sang Arjuna
Kuhabiskan waktuku tenggelam dalam
keremangan hidup. Berkenalan dengan desir kafilah yang senantiasa
menampar-nampar wajahku. Atau menjadi sasaran tendangan laiknya bola setiap ada
manusia usil yang lewat. Banyak kawanku berakhir tergerus sedikit demi sedikit
menjadi butiran pasir halus, tanpa sempat ucapkan selamat tinggal padaku.
Tuhan telah menciptakan neraka
dimana bahan bakarnya para manusia dan batu. Semua batu di dunia akhirnya akan
ada di sana. Ah, malang sekali nasibku.
Namun pada akhirnya Tuhan
menciptakan segalanya sesuai pada tempatnya. Semua anganku agar diriku jadi
sepertimu sirna sudah, melihatmu begini. Tepat disamping kakimu, kau curahkan
semua kepedihan hatimu selama ini padaku. Sebuah kisah berselimut sendu
mengalun bersama dingin malam yang makin menggigit kulitmu. Penghibur,
sekaligus penyadar akan rasa syukurku pada-Nya.
***
Saat itu, engkau masih menjadi
seorang mahasiswa yang sedang menikmati masa mudanya. Selalu saja kau habiskan
waktumu dalam kesia-siaan tak berujung seakan dunia hanyalah semua yang pernah
dinikmati didepan mata.
Hingga akhirnya kau terpuruk dalam
jurang kesengsaraan. Utang-utangmu menumpuk. Teman-teman yang dulu
membangga-banggakan dunia bersamamu telah pergi. Keluargamu berubah membencimu
karena tahu, narkoba telah berhasil menjeratmu. Selama bertahun-tahun, waktumu
habis untuk menangis dalam penjara.
Di dalam penjara, kau selalu
terpekur menyesali segalanya. Reputasimu sebagai mahasiswa teladan inspirasi
sesamamu, hancur sudah. Segudang prestasi akademis yang susah payah kau
kumpulkan, seakan tak ada bedanya dengan butiran debu yang lenyap oleh angin.
Hanya karena satu jerat setan bernama narkoba, hidupmu menjadi tak ada artinya.
Sampai pada suatu ketika di bulan ramadhan,
dalam semarak sayup-sayup lantunan puji-pujian agung, kau menemukan setitik
lentera terang tepat di pelupuk matamu. Seorang manusia mulia telah Tuhan
kirimkan demi menuntunmu kembali pada-Nya, melalui kata-kata bijak yang ia
lontarkan sewaktu khutbah dalam masjid penjara.
“Ingatlah bahwa Allah sangatlah
keras siksanya. Dia membalas semua perbuatan buruk manusia, walau setitik
noktah yang dilakukan. Namun jangan lupakan bahwa Ia adalah Dzat yang maha
pengampun. Walau ancamannya amat pedih, ia tetap akan menerima siapapun
hamba-hambanya yang ingin kembali pada-Nya. Dia tahu seberapa besar dosa-dosa
hambanya, namun Dia tak perduli bilamana hamba itu mau bertaubat dan kembali ke
jalan yang benar”
“Allah itu maha perkasa, maha
penyiksa. Tapi ia juga maha pengampun, maha penyayang. Rahmat-Nya mendahului
murka-Nya, maka jangan sia-siakan umur demi menyesali dosa-dosa. Segeralah
bertaubat pada-Nya saudara-saudaraku”
Seperti air pegunungan yang merembes
di sela-sela bebatuan cadas, nasehat itu perlahan mengikis kerasnya hatimu.
Sejuk terasa terpatri memenuhi rongga-rongga dadamu yang kosong akan hidayah
Tuhan, menjadikanmu lapang selapang-lapangnya. Di matamu, semua dosa-dosa yang
membelenggu akhirnya lenyap sudah, karena hadirnya cahaya yang kini perlahan
menerangi hati. Engkau tak lagi berputus asa. Tangisanmu berubah menjadi tangis
rindu akan ampunan. Seperti sebuah tanaman layu yang disiram kembali, engkau
sekarang benar-benar hidup.
Sepuluh tahun kemudian, engkau keluar
dari penjara. Engkau berubah menjadi sama layaknya para manusia suci.
Teman-teman sesama napi yang semula saling membenci, berubah saling menyayangi
karenamu. Mereka selalu mendoakan keselamatanmu waktu kau akan berpisah dengan
mereka. Sahabatmu sesama napi bernama Salim memberi nasehat berharga padamu
sebelum kau benar-benar berpisah,
“Ingatlah selalu pada kami ya, San.
Dan jangan lupakan shalat seperti nasehatmu pada kami semua. Jaga selalu
imanmu, karena sekarang engkau akan menghadapi dunia”
Kau memeluk mereka seketika. Erat.
Hingga meneteskan linangan haru. Semuanya menyayangimu, dan semuanya berat
sekali melepaskanmu.
Dunia lalu engkau hadapi. Jatuh,
bangun, terjerembab, gagal, pantang menyerah selalu berusaha. Kau juga mulai
mengenal wanita. Dalam masa-masa yang sulit, engkau menikah dan mempunyai dua
anak yang lucu.
Babak baru hidupmu dimulai, saat kau
sadari Tuhan mulai mencurahkan rezeki berlipat di atasmu. Seperti air terjun,
disana-sini engkau jumpai rezeki. Usahamu berdagang pakaian milik Juragan Kumar
secara jujur dan penuh keikhlasan ternyata tak sia-sia.
Para ustadz, hafidz, dan orang-orang
shalih lainnya kau kenali. Rajin sekali kakimu melangkah ke rumah Tuhan,
sebagai awal mula ku mulai bertemu denganmu. Seluruh keluarga kau ajak serta,
menuju kerinduan akan kasih sayang sang pencipta. Lebih-lebih bila ramadhan
datang dengan semilir rahmat-Nya, seakan rumahmu satu-satunya hanya masjid.
Bertahun-tahun lama sekali engkau menikmati
hidupmu. Namun, waktu ternyata menetapkan dirinya akan batasan nikmatmu. Roda
takdir kembali berubah.
Dua anakmu yang mengemaskan kini
beranjak menjadi dua orang mahasiswa ternama. Engkau bersyukur punya anak
seperti mereka, yang selalu taat akan perintah dan nasehatmu. Kau senang
berhasil mendidik mereka dengan baik. Agama menjadi nomor satu bagi mereka, ilmu
dunia telah berhasil mereka usahakan.
Tapi kau terlalu sibuk dengan urusan
mencari nafkah. Kau anggap semua baik-baik saja, hingga luput perhatianmu akan
mereka.
Saat itu Januari, dimana hujan deras
selalu mengguyur sehari-hari. Langit malam makin pekat dengan deru hujan
membasahi bumi. Kau sedang berleha-leha membaca koran sambil menikmati
secangkir kopi manis. Istrimu juga menikmati waktunya dengan menonton sinetron.
Tiba-tiba pintu rumahmu diketuk. Kau buka pintu rumahmu. Kau dapati anak
pertamamu basah kuyup terkena hujan.
Kau dapati mulutnya bau busuk
alkohol. Ketika kau lihat kedua matanya, serupa seperti mata ikan mati. Engkau
mulai curiga dan memberondong berbagai pertanyaan padanya tanpa ampun, tanpa
sempat kau suruh dia mengganti pakaian. Ia menjawab semuanya sambil menahan
dingin menggigil.
Tanpa pernah engkau menyadarinya, ia
telah terjebak dalam miras dan narkoba. Dua hal yang paling kau benci seumur
hidupmu.
Seharusnya setelah ia begitu jujur,
engkau lebih bijaksana menyikapinya.
Namun teramat mudah amarahmu
tersulut. Kau tampar dia, engkau caci maki sosoknya. Walau ia berkali-kali
bersimpuh di kakimu mengharap kata maaf, tetap saja kau bergeming. Pikiranmu ternyata
masih begitu dangkal untuk menerima keadaan semacam ini. Dengan nafas terengah,
kau usir dia di tengah dingin mencekat leher-leher.
Harapan
akan kembali pupus sudah. Kau sirami benih keputusasaannya dengan kemarahan.
Kau tak lagi mendengar kabar keberadaannya hingga lima bulan kemudian.
Ia
ditemukan di kost-annya, terbaring lemah bersimbah darah di sekujur tubuhnya.
Sebilah pisau masih ia genggam dengan nafas tersengal dan detak nadi yang makin
melemah. Ia tidak mencoba bunuh diri. Namun, hal itu disebabkan akibat
penganiayaan sejumlah bodyguard rentenir karena ia tak kunjung membayar
hutangnya. Hutangnya menumpuk guna membeli narkoba dan alkohol.
Di
rumah sakit, ia hembuskan nafas terakhirnya. Namun sebelum ia meninggal, ia
masih sempat mengucapkan beberapa patah kata padamu,
“Maafkan
aku ayah, aku bukanlah anak yang baik untukmu. Tolong ridhailah diriku yah,
sebelum aku meninggalkanmu selamanya”
Engkau
menangis. Kau menyesal. Kau cium jasadnya berbau harum tanpa parfum. Jauh-jauh
hari sebelum kematiannya, ia telah bertaubat. Namun sayang sekali, sesalmu
tiada gunanya.
Lalu
sedikit demi sedikit kesedihan menimpamu. Kau terlalu tenggelam dalam kesedihan
akan hal itu, hingga membuat bisnis dagangmu terbengkalai. Istrimu pontang
panting membiayai keluarga, padahal kau tahu tubuhnya sangatlah lemah. Anak
keduamu membencimu dan menyalahkan akan kematian kakaknya. Ia pergi dari rumah,
selamanya.
Pada
awal ramadhan, kau tinggalkan segalanya yang mengingatkanmu pada anakmu.
Manusia adalah makhluk yang paling rapuh, sangat rapuh hatimu ketika menyikapi
keadaan. Terlunta-lunta, dirimu terseok-seok sepanjang jalan. Kau dianggap
gila, menjadi gelandangan yang kerap terhempas kehidupan jalanan.
Hingga
akhirnya, kau meratapi nasibmu di sini. Bersamaku, yang masih setia
mendengarkan keluh kesahmu.
***
Aku
hanyalah kerikil tajam. Kecil, terlupakan selalu dalam setiap waktu. Namun aku
bersyukur tak menjadi manusia yang berhati rapuh dan mudah terombang-ambing
akan keadaan. Aku tak pernah merasa sakit atau pun sedih yang membuatku
meratapi akan nasib yang selalu menderu.
Kalau
aku bisa bicara dan bergerak, akan kutampar dia dan ku maki-maki dirinya agar
sadar dengan keadaan. Selalu, nasib itu terus meroda. Bila manusia tak dapat
menghadapi kenyataan, untuk apa mereka hidup? Inti dari hidup adalah berkelahi,
maka hadapilah dunia untuk memenangkannya.
Manusia
punya Tuhan, dan mereka selalu menyembahnya. Maka, manfaatkanlah Tuhan untuk
berkeluh kesah. Dia yang kuasa mengatur hidup. Dia takkan meninggalkan manusia
sendirian. Seperti ketika dalam penjara, dirinya bisa bangkit karena Tuhan.
Mengapa saat ini dirinya tak bisa bangkit lagi?
Saat
ku masih mencaci dirimu dalam diam, sebuah mobil berhenti di depanmu. Keluar
dari dalamnya, seorang pemuda tampan yang terlihat cemas menatapmu.
“Ayo
pulang ayah! Sudah setahun engkau tinggalkan rumah, anakmu ini bingung mencarimu
kemana-mana. Lupakan segalanya! Semua telah berlalu”
Ia
lalu mengamit lenganmu, lalu memasukkanmu ke dalam mobilnya. Tak perduli akan
bau busuk yang menguar dari sela-sela ketiakmu.
Oh
sial, aku kembali merasa iri pada manusia. Meski mereka melemah, jatuh, atau
terjerembab ke jurang sekalipun, masih ada yang menyayanginya. Mereka ada dan
kuat mengatasi roda nasib karena ada yang menemani perjuangannya.
Kembali
ku sendiri disini, ditemani cakrawala yang perlahan mengumpulkan gumpalan awan,
meneteskan rintik hujan.
Boyolali,
18 Juni 2016