Paradoks yang Tersembunyi
By : KhaniFFauzan
Malam yang tenang, suara jengkerik
bersahutan memenuhi atmosfer sepi, dan remang-remang, di antara lampu jalanan
yang berkedip-kedip. Jarang-jarang kendaraan kendaraan melintas saat ini, pukul
sepuluh malam, dimana manusia normal kembali ke peraduannya untuk bersiap kerja
di esok hari. Toko-toko telah tutup, aktivitas berhenti semua, saat lembaran
hari ingin berganti dua jam lagi.
Dalam
suasana tenang, sunyi, nan terasa dingin ini, lewatlah seorang lelaki dengan
langkah tergesa. Perawakannya tegap, dengan dasi polos melingkar di lehernya. Pada
jas besar yang ia kenakan, bertengger name
text ‘Rizki Ahmad’ sambil mengenggam erat koper besar dengan berpeluh
dingin. Bayangan tubuhnya mengiringi langkah cepatnya, di antara temaram
lampu-lampu jalanan. Sendirian, lelaki itu melenggang bebas.
“Sial!
Piket malam sampai jam sepuluh malam tanpa tambahan gaji sama sekali. Sumpah,
aku benar-benar akan keluar dari pekerjaan ini jika hanya membuang waktuku
dengan sia-sia!” Gerutu sang lelaki bersungut-sungut.
Siang
tadi pada pukul satu di saat terik serasa membakar kulit, seorang manager
perusahaan manufaktur mengumumkan pada semua stafnya bahwa malam ini akan ada
rapat penting membahas masa depan perusahaan. Sang manager rupanya memiliki
kendala dengan para pesaing bisnisnya dari luar negeri akibat adanya inflasi
yang melanda. Tepat pukul delapan malam, ternyata rapat ditunda esok hari di
karenakan sang manager. Sialnya, sang Office
boy lagi pulang kampung selama sebulan, sehingga dia yang dapat giliran piket
hari ini untuk menjaga kantor sampai manager kembali. Dalam kebosanan yang
hanya di temani sepi, dia juga harus menyelesaikan arsip-arsip bagian pemasaran
yang menggunung. Dan setibanya manager pada jam sepuluh malam, dia membawa
kabar buruk bagi sang lelaki. Upah piket malam di tiadakan demi menutupi
kerugian perusahaan, di tambah lagi kendaraan umum tak beroperasi pada malam
hari sehingga itu memaksanya untuk pulang berjalan kaki. Waktu sial baginya.
Namun apa mau di kata?
Gemerisik
dedaunan mengalun seiring tiupan angin mencekam. Hewan-hewan malam selain
jengkerik mulai menunjukkan aktivitasnya. Sekilas, burung hantu berkelebat di
atas lelaki. Seekor kucing hitam melintas cepat dengan mata nocturnal-nya, acuh
pada langkah cepat sang lelaki yang hampir saja menabrak hewan itu.
“Hewan
sialan!” umpat sang lelaki. Sesaat, desiran dingin meraba tengkuknya yang
berkeringat. Bulu romanya mulai tegak.
Dalam
keremangan suasana, samar-samar ia melihat sebuah bola dari kejauhan. Bola itu
polos, tanpa gurat-gurat alur.
***
Lima
belas menit yang lalu.
Nun
jauh di atas langit, berjarak seribu tahun perjalanan manusia, sebuah makhluk
melesat turun dengan kepakan sayapnya melintasi cakrawala. Ratusan cahaya di
tembusnya dengan kecepatan kilat demi menuntaskan tugasnya untuk membawa pergi
seorang manusia meninggalkan dunia. Dari buku catatan yang ia bawa, di situ
tertulis sebuah nama yang besar dalam lembaran terakhir, ‘Rizki Ahmad’
***
“Aneh
sekali? Mengapa ada bola berbentuk seperti itu di sekitar sini?” pikir sang
lelaki, heran. Bukan hanya bentuk anehnya seperti telur, tapi posisinya yang
tepat di tengah-tengah jalan seakan ingin menghadang seseorang yang lewat. Bola
itu putih polos, mengkilat jika terkena pancaran sinar lampu jalanan.
Bandingkan saja dengan kepala botak yang bersinar diterpa cahaya matahari,
persis seperti itu.
Mungkin
saja ada anak yang lupa mengambil kembali bolanya saat bermain di tengah jalan.
Wajar saja, karena tiap sore jalanan selalu di gunakan untuk arena bermain
saking sempitnya lahan kosong. Lalu, sang lelaki pun melewati bola itu begitu
saja. Ia kembali berjalan dengan cepat setelah tadi sempat memelankan langkah.
Beberapa
langkah ia gapai, desir aneh kembali menerpa tengkuknya. Suara tapak kaki
terdengar sumbang saat ia berjalan, seakan ada yang mengikutinya dari belakang.
Kepalanya menoleh ke belakang. Tak ada apapun, hanya ada bola itu di
belakangnya.
Ia
pun mempercepat langkahnya karena perasaannya mulai tak enak. Jantungnya
berdegup tak teratur imbangi kecepatan kakinya. Perasaan ada yang mengikuti
kian menguat saat sekelebat bayangan manusia ia tangkap melalui pandangan
matanya yang mengarah ke kanan bawah. Kepalanya menoleh kembali ke belakang
diliputi perasaan cemas. Sekali lagi tak ada apapun, kecuali hanya bola itu
yang berada di tengah jalan.
Makin
cepat, ia pun berlari kencang. Sosok di belakangnya seakan memburunya beringas
melihatnya melesat. Suara bola ditendang tak sengaja, menggema di udara
membuktikan kalau di belakangnya memang ada yang mengikuti. Hembus nafas tak
teratur terselimuti rasa takut yang benar-benar menguat. Ternyata memang ada
yang mengikutinya! Semburat ketegangan mencuat dibalik rona cemasnya demi
menyelamatkan diri dari sosok yang mengejarnya. Entah apapun itu, yang jelas
perasaannya mengatakan sosok itu berbahaya. Badannya mencoba berkelit dari
kejaran dengan menelusup ke gang-gang sempit, tak tahu sampai ke mana.
Dan
kesialan menimpanya sekali lagi, di depannya adalah gang buntu.
Sang
lelaki berhenti secara mendadak, dan mendadak pula sosok itu menabrak tubuh
ringkihnya yang takut, sehingga mereka berdua terjerembab mencium tanah.
***
Satu
jam yang lalu, dillaporkan sebuah subjek percobaan hasil kloning reproduktif melarikan
diri dari laboratorium. Subjek percobaan ini adalah seorang manusia paruh baya,
berjenis kelamin laki-laki, dan tinggi semampai seperti orang dewasa pada
umumnya. Ciri utama yang membedakannya dengan manusia biasa adalah barcode
pelat besi yang menempel di tengkuknya. Saat melarikan diri, ia mengenakan T-Shirt
warna putih dengan dasi dan jas melapisi pakaiannya. Celana hitam ia kenakan
pula lengkap dengan sepatu mengkilat habis di semir dan sebuah koper. Semua
pakaian itu dicurinya dari ruangan pribadi sang ilmuan. Dalam kepanikan
tertahan di laboratorium, tiga ilmuan dikerahkan guna mencari sang subjek,
karena subjek ini merupakan satu-satunya yang masih tersisa setelah tiga subjek
yang lain melarikan diri.
Deru
mobil melesat menembus udara malam. Tiga ilmuan itu mulai mencarinya.
***
“Ugh…”
Samar-samar sang lelaki sadar dari pingsan sesaat. Dengan kondisi tengkurap, ia
tak dapat bangun karena sebuah tubuh menindih di atasnya. Perlahan, pemilik
tubuh itu juga bangun secara tiba-tiba.
Mereka
pun bertatapan sesaat. Bingung.
Sang
lelaki meraba wajahnya, sosok itu pun menirukan. Beralih dari wajah, sang
lelaki meraba badan, pakaian, kedua tangan, sampai ke rambut kusutnya, lalu
mengkucal-kucal matanya, sosok itu juga menirukan. Pakaiannya ia buka untuk
menunjukkan sesuatu di tengkuknya, dan sosok itu juga sama-sama memiliki
sesuatu di tengkuknya. Sebuah plat barcode. Seketika sang lelaki meraih kopernya,
dengan cepat pula sosok itu meraih sebuah koper. Apa yang terjadi?
“Siapa
kamu?” Tanya mereka secara bersama.
Setiap
inci tubuh sang lelaki ternyata sama dengan sosok itu. Lekuk-lekuk wajahnya,
pakaian, gerak-gerik, suara, rambut, semuanya sama. Name text sosok itu pun
sama ‘Rizky Ahmad’, bahkan saat sang lelaki menyebut namanya sendiri, nama
sosok itu juga sama. Mungkin, ini hanya mimpi buruk belaka. Dia saat ini sedang
di rumah tertidur lelap sambil memeluk bantal nyaman. Namun tangannya terasa
sakit ia cubit. Ini bukanlah sebuah mimpi. Ia lalu mengamit tangan sosok itu
dan membawanya ke jalan raya yang terang demi membuktikan kalau yang
dihadapannya adalah manusia.
Tangannya
menampar wajah sosok itu. Tentu saja sosok itu balas menamparnya juga. Di bawah
temaram lampu jalan, mereka saling tampar menampar.
Dari
kejauhan pandangan, deru mobil melaju kencang berkecepatan seratus kilometer
per jam menyibak angin dingin. Penghuni kendaraan itu adalah tiga orang ilmuan
yang sedang tergesa mencari subyek percobaan yang hilang. Sopirnya seakan tidak
memperhatikan jalanan yang terdapat dua orang saling tampar-menampar gila. Dan
dua orang itu juga tidak menghiraukan akan kendaraan yang melintas.
Pandangan
mereka berdua berubah gelap.
Para
ilmuan yang tergesa, merasa panik mengetahui bahwa mobil mereka menabrak dua
manusia biasa. Namun karena waktu yang memburu, mobil langsung tancap gas
meninggalkan dua orang mengglepar di jalanan.
Sedetik
kemudian, dari langit turunlah sesosok makhluk bersayap di antara dua jasad
terbaring itu. Kesadaran mereka kembali normal dengan cepat, mereka terbelalak
melihat makhluk bercahaya tanpa rupa ada di hadapan mereka. Mereka tahu siapa
yang ada dihadapannya sekarang ini dan apa yang akan terjadi. Malaikat maut
alias sang pencabut nyawa.
Tapi
sang malaikat heran dengan mereka berdua. Mereka sama. Pakaian, rupa, nama,
plat barcode, serta ruh mereka juga sama, sampai-sampai sang malaikat bertanya pada
mereka.
“Siapa
yang lebih dulu mau dicabut nyawanya?” Mereka saling tunjuk.
Dan
akhirnya sang malaikat mencabut nyawa mereka secara bersamaan.
Teknologi
kloning memang sialan.
Boyolali,
30 Januari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar