Sabtu, 20 Agustus 2016

Cerpen : Paradoks yang Tersembunyi


Paradoks yang Tersembunyi

By : KhaniFFauzan

            Malam yang tenang, suara jengkerik bersahutan memenuhi atmosfer sepi, dan remang-remang, di antara lampu jalanan yang berkedip-kedip. Jarang-jarang kendaraan kendaraan melintas saat ini, pukul sepuluh malam, dimana manusia normal kembali ke peraduannya untuk bersiap kerja di esok hari. Toko-toko telah tutup, aktivitas berhenti semua, saat lembaran hari ingin berganti dua jam lagi.
Dalam suasana tenang, sunyi, nan terasa dingin ini, lewatlah seorang lelaki dengan langkah tergesa. Perawakannya tegap, dengan dasi polos melingkar di lehernya. Pada jas besar yang ia kenakan, bertengger name text ‘Rizki Ahmad’ sambil mengenggam erat koper besar dengan berpeluh dingin. Bayangan tubuhnya mengiringi langkah cepatnya, di antara temaram lampu-lampu jalanan. Sendirian, lelaki itu melenggang bebas.
“Sial! Piket malam sampai jam sepuluh malam tanpa tambahan gaji sama sekali. Sumpah, aku benar-benar akan keluar dari pekerjaan ini jika hanya membuang waktuku dengan sia-sia!” Gerutu sang lelaki bersungut-sungut.
Siang tadi pada pukul satu di saat terik serasa membakar kulit, seorang manager perusahaan manufaktur mengumumkan pada semua stafnya bahwa malam ini akan ada rapat penting membahas masa depan perusahaan. Sang manager rupanya memiliki kendala dengan para pesaing bisnisnya dari luar negeri akibat adanya inflasi yang melanda. Tepat pukul delapan malam, ternyata rapat ditunda esok hari di karenakan sang manager. Sialnya, sang Office boy lagi pulang kampung selama sebulan, sehingga dia yang dapat giliran piket hari ini untuk menjaga kantor sampai manager kembali. Dalam kebosanan yang hanya di temani sepi, dia juga harus menyelesaikan arsip-arsip bagian pemasaran yang menggunung. Dan setibanya manager pada jam sepuluh malam, dia membawa kabar buruk bagi sang lelaki. Upah piket malam di tiadakan demi menutupi kerugian perusahaan, di tambah lagi kendaraan umum tak beroperasi pada malam hari sehingga itu memaksanya untuk pulang berjalan kaki. Waktu sial baginya. Namun apa mau di kata?
Gemerisik dedaunan mengalun seiring tiupan angin mencekam. Hewan-hewan malam selain jengkerik mulai menunjukkan aktivitasnya. Sekilas, burung hantu berkelebat di atas lelaki. Seekor kucing hitam melintas cepat dengan mata nocturnal-nya, acuh pada langkah cepat sang lelaki yang hampir saja menabrak hewan itu.
“Hewan sialan!” umpat sang lelaki. Sesaat, desiran dingin meraba tengkuknya yang berkeringat. Bulu romanya mulai tegak.
Dalam keremangan suasana, samar-samar ia melihat sebuah bola dari kejauhan. Bola itu polos, tanpa gurat-gurat alur.
***
Lima belas menit yang lalu.
Nun jauh di atas langit, berjarak seribu tahun perjalanan manusia, sebuah makhluk melesat turun dengan kepakan sayapnya melintasi cakrawala. Ratusan cahaya di tembusnya dengan kecepatan kilat demi menuntaskan tugasnya untuk membawa pergi seorang manusia meninggalkan dunia. Dari buku catatan yang ia bawa, di situ tertulis sebuah nama yang besar dalam lembaran terakhir, ‘Rizki Ahmad’
***
“Aneh sekali? Mengapa ada bola berbentuk seperti itu di sekitar sini?” pikir sang lelaki, heran. Bukan hanya bentuk anehnya seperti telur, tapi posisinya yang tepat di tengah-tengah jalan seakan ingin menghadang seseorang yang lewat. Bola itu putih polos, mengkilat jika terkena pancaran sinar lampu jalanan. Bandingkan saja dengan kepala botak yang bersinar diterpa cahaya matahari, persis seperti itu.
Mungkin saja ada anak yang lupa mengambil kembali bolanya saat bermain di tengah jalan. Wajar saja, karena tiap sore jalanan selalu di gunakan untuk arena bermain saking sempitnya lahan kosong. Lalu, sang lelaki pun melewati bola itu begitu saja. Ia kembali berjalan dengan cepat setelah tadi sempat memelankan langkah.
Beberapa langkah ia gapai, desir aneh kembali menerpa tengkuknya. Suara tapak kaki terdengar sumbang saat ia berjalan, seakan ada yang mengikutinya dari belakang. Kepalanya menoleh ke belakang. Tak ada apapun, hanya ada bola itu di belakangnya.
Ia pun mempercepat langkahnya karena perasaannya mulai tak enak. Jantungnya berdegup tak teratur imbangi kecepatan kakinya. Perasaan ada yang mengikuti kian menguat saat sekelebat bayangan manusia ia tangkap melalui pandangan matanya yang mengarah ke kanan bawah. Kepalanya menoleh kembali ke belakang diliputi perasaan cemas. Sekali lagi tak ada apapun, kecuali hanya bola itu yang berada di tengah jalan.
Makin cepat, ia pun berlari kencang. Sosok di belakangnya seakan memburunya beringas melihatnya melesat. Suara bola ditendang tak sengaja, menggema di udara membuktikan kalau di belakangnya memang ada yang mengikuti. Hembus nafas tak teratur terselimuti rasa takut yang benar-benar menguat. Ternyata memang ada yang mengikutinya! Semburat ketegangan mencuat dibalik rona cemasnya demi menyelamatkan diri dari sosok yang mengejarnya. Entah apapun itu, yang jelas perasaannya mengatakan sosok itu berbahaya. Badannya mencoba berkelit dari kejaran dengan menelusup ke gang-gang sempit, tak tahu sampai ke mana.
Dan kesialan menimpanya sekali lagi, di depannya adalah gang buntu.
Sang lelaki berhenti secara mendadak, dan mendadak pula sosok itu menabrak tubuh ringkihnya yang takut, sehingga mereka berdua terjerembab mencium tanah.
***
Satu jam yang lalu, dillaporkan sebuah subjek percobaan hasil kloning reproduktif melarikan diri dari laboratorium. Subjek percobaan ini adalah seorang manusia paruh baya, berjenis kelamin laki-laki, dan tinggi semampai seperti orang dewasa pada umumnya. Ciri utama yang membedakannya dengan manusia biasa adalah barcode pelat besi yang menempel di tengkuknya. Saat melarikan diri, ia mengenakan T-Shirt warna putih dengan dasi dan jas melapisi pakaiannya. Celana hitam ia kenakan pula lengkap dengan sepatu mengkilat habis di semir dan sebuah koper. Semua pakaian itu dicurinya dari ruangan pribadi sang ilmuan. Dalam kepanikan tertahan di laboratorium, tiga ilmuan dikerahkan guna mencari sang subjek, karena subjek ini merupakan satu-satunya yang masih tersisa setelah tiga subjek yang lain melarikan diri.
Deru mobil melesat menembus udara malam. Tiga ilmuan itu mulai mencarinya.
***
“Ugh…” Samar-samar sang lelaki sadar dari pingsan sesaat. Dengan kondisi tengkurap, ia tak dapat bangun karena sebuah tubuh menindih di atasnya. Perlahan, pemilik tubuh itu juga bangun secara tiba-tiba.
Mereka pun bertatapan sesaat. Bingung.
Sang lelaki meraba wajahnya, sosok itu pun menirukan. Beralih dari wajah, sang lelaki meraba badan, pakaian, kedua tangan, sampai ke rambut kusutnya, lalu mengkucal-kucal matanya, sosok itu juga menirukan. Pakaiannya ia buka untuk menunjukkan sesuatu di tengkuknya, dan sosok itu juga sama-sama memiliki sesuatu di tengkuknya. Sebuah plat barcode. Seketika sang lelaki meraih kopernya, dengan cepat pula sosok itu meraih sebuah koper. Apa yang terjadi?
“Siapa kamu?” Tanya mereka secara bersama.
Setiap inci tubuh sang lelaki ternyata sama dengan sosok itu. Lekuk-lekuk wajahnya, pakaian, gerak-gerik, suara, rambut, semuanya sama. Name text sosok itu pun sama ‘Rizky Ahmad’, bahkan saat sang lelaki menyebut namanya sendiri, nama sosok itu juga sama. Mungkin, ini hanya mimpi buruk belaka. Dia saat ini sedang di rumah tertidur lelap sambil memeluk bantal nyaman. Namun tangannya terasa sakit ia cubit. Ini bukanlah sebuah mimpi. Ia lalu mengamit tangan sosok itu dan membawanya ke jalan raya yang terang demi membuktikan kalau yang dihadapannya adalah manusia.
Tangannya menampar wajah sosok itu. Tentu saja sosok itu balas menamparnya juga. Di bawah temaram lampu jalan, mereka saling tampar menampar.
Dari kejauhan pandangan, deru mobil melaju kencang berkecepatan seratus kilometer per jam menyibak angin dingin. Penghuni kendaraan itu adalah tiga orang ilmuan yang sedang tergesa mencari subyek percobaan yang hilang. Sopirnya seakan tidak memperhatikan jalanan yang terdapat dua orang saling tampar-menampar gila. Dan dua orang itu juga tidak menghiraukan akan kendaraan yang melintas.
Pandangan mereka berdua berubah gelap.
Para ilmuan yang tergesa, merasa panik mengetahui bahwa mobil mereka menabrak dua manusia biasa. Namun karena waktu yang memburu, mobil langsung tancap gas meninggalkan dua orang mengglepar di jalanan.
Sedetik kemudian, dari langit turunlah sesosok makhluk bersayap di antara dua jasad terbaring itu. Kesadaran mereka kembali normal dengan cepat, mereka terbelalak melihat makhluk bercahaya tanpa rupa ada di hadapan mereka. Mereka tahu siapa yang ada dihadapannya sekarang ini dan apa yang akan terjadi. Malaikat maut alias sang pencabut nyawa.
Tapi sang malaikat heran dengan mereka berdua. Mereka sama. Pakaian, rupa, nama, plat barcode, serta ruh mereka juga sama, sampai-sampai sang malaikat bertanya pada mereka.
“Siapa yang lebih dulu mau dicabut nyawanya?” Mereka saling tunjuk.
Dan akhirnya sang malaikat mencabut nyawa mereka secara bersamaan.
Teknologi kloning memang sialan.
Boyolali, 30 Januari 2016



Tidak ada komentar:

Posting Komentar