Sabtu, 20 Agustus 2016

Cerpen : Mimpi-mimpi Semu



Mimpi-mimpi Semu



By : KhaniFFauzan

            Kesekian kalinya, mimpi itu terulang kembali.
            Sama. Setiap malam, mimpi itu datang menghampiriku. Dalam lelap, semua terasa begitu nyata, indah, dan menggetarkan dada. Aku melihatnya dengan jelas, sosoknya yang anggun, berparas bagai malaikat surga nan bercahaya. Dia membiusku melalui alunan romansa.
            Kulihat seorang putri sedang duduk manis diatas altar yang dikelilingi bunga-bunga. Mawar, melati, tulip, hembuskan semerbak mewangi. Menjulang tinggi aliran air dari sela-sela tebing terjal, menjadi panorama disekelilingnya. Sejuk terpatri dalam hati ditengah elok suasana cerah dimana awan berarak memenuhi cakrawala. Hangatnya sang mentari, menambah syahdu latar suasana. Memandang dirinya, menentramkan diri.
            Sayangnya, ku hanya bisa menikmati indah parasnya dari kejauhan. Di balik rimbun pepohonan, ku melihatnya bermain dengan alam. Kecipak air serta lantunan anggun bait-bait suci  menjadi kebiasaannya. Ketika ku tak dapat menahan diri untuk tak mendekatinya, tiba-tiba muncul semburat merah dari langit. Senja pun turun perlahan, bersamaan dengan sosoknya yang menghilang dalam keremangan.
            Lalu sepi ku sendiri.
            Saat ku terbangun, entah mengapa kurasakan getar-getar halus menjalari dadaku. Rona indahnya selalu terbayang lekat, pekat, membawaku menuju ranah khayali romansa. Bahaya sekali bila dada ini meledak.
            Di alam nyata, romansa berpadu dengan panah-panah asmara. Segala puji kuhaturkan pada Tuhan yang menanam benih-benih cinta ini, kudapat merasakan indahnya dunia ketika benih itu mulai tumbuh meliuk-liuk dalam hati. Cintaku berhulu dari mata, lalu bermuara dalam sosoknya.
Kujatuhkan rasa ini pada seorang wanita teman sekelasku, yang selama ini tak pernah ku perhatikan sebelumnya. Dua tahun melewati masa SMA, ternyata dialah yang senantiasa hadir dalam mimpi-mimpiku. Karin namanya. Awal mula ku merasakannya ialah, saat tangan kami tak sengaja bersentuhan ketika ku meminjam buku catatannya. Dunia seakan berubah.
Hingga saat ini, tak pernah ku alami mimpi yang lain.
***
            Denting besi memecah keheningan pagi. Waktu yang semula berhenti, kini terasa menggerus rona. Sayup-sayup, terdengar pekik tertahan dari sebuah gudang kopra yang busuk. Dapat disaksikan seonggok jasad wanita tergantung berayun-ayun ditengah ruangan. Bibirnya yang telah membiru, menandakan degup jantungnya telah berhenti selamanya.
            “Jangan kak! Jangan kau bunuh aku!” Seorang perempuan terseok-seok panik. Matanya memancarkan ketakutan, melihat sesosok lelaki mendekatinya dengan pisau terhunus di tangannya. Mulutnya menyeringai, seolah keluarkan aroma busuk pembunuh. Jiwanya sedingin ular, tanda hatinya telah mati. Perempuan itu mencoba melawan sia-sia. Disaat nafasnya tercekat rasa takut, sebilah pisau menusuk dadanya berkali-kali. Darah membanjiri lantai yang dingin.
            Seonggok jasad yang menggantung, seorang perempuan yang ditusuk, sang lelaki mengabadikan semua pemandangan ini dengan kamera.
***
            Satu hari yang lain dari biasanya, kali ini aku tidak melihat senyuman itu lagi. Dalam mimpiku, ia terlihat murung, seolah mengabaikan rayuan alam yang berusaha menghiburnya. Hawa eligi berhembus dari jiwanya, membuat bunga-bunga layu satu per satu. Sinar matanya kini meredup. Langit yang cerah kini mulai berselimut awan mendung. Apa yang terjadi? Kemana semua kebahagiaan itu lenyap? Hari ini, seakan itu bukanlah dirinya.
***
            Akhir-akhir ini marak terjadi kasus kekerasan dalam rumah tangga. Faktor ekonomi banyak menjadi masalah utama yang memicunya, disertai dengan sikap sang kepala rumah tangga yang cenderung senang menghabiskan uang untuk rokok dan judi, daripada memenuhi kebutuhan rumah tangga. Apalagi jika sang isteri terkenal sikap gila belanjanya, tentulah pailit ekonomi makin mencekik leher. Utang-utang menumpuk, rokok tak ada, judi kalah terus. Timbul stress berkepanjangan dalam keluarga, teutama sang suami. Karena hal itu, muncul percekcokan sebagai menu utama setiap hari, sehingga berujung kasus kekerasan dalam rumah tangga.
            Seperti itu yang terjadi pada Karin. Lima hari silam, mendung menaungi wajahnya yang muram karena masalah keluarganya. Kudengar tentang keadaannya dari sahabatku Amir, yang selama ini kuminta jawabannya atas persoalan cintaku.
Selama ini ku masih tak berani mengutarakan perasaanku, tapi ketika mendengar masalahnya kuingin membantunya. Apa yang harus kulakukan untuk membantunya jikalau ku memintanya membicarakan hal itu, ia menolaknya? Ia justru makin menghindar dari keramaian dengan menenggelamkan diri pada kesunyian. Tak lagi kulihat senyum manisnya, tak lagi kudengar canda tawanya, seakan dunia telah menjauh darinya.
Seiring waktu yang merangkak maju, tak pernah kulihat lagi sosoknya yang nyata.
***
Langit merah saga keunguan, bercampur hitamnya mendung tutupi rona cakrawala kuning, menjadi lambang eligi balada. Awan berarak melingkar-lingkar, semilir dingin mencekam tegakkan bulu roma. Bunga-bunga layu, kering kerontang. Air terjun dari tebing tak lagi jernih dengan warnanya yang cokelat pudar bercampur lumpur. Pepohonan meranggas, menyisakan cabang-cabang bagai tanduk setan. Tanah pecah-pecah, tak lagi subur. Di atas altar agung, wajahnya makin putus asa. Semua keadaan ini berbeda sekali semula, kontras bagai hitam dan putih.
Hening, sunyi. Mata lentiknya mengerjab-kerjab teteskan linangan intan.
Seperti membisik, hujan pun turun deras. Kosong, tanpa makna berarti. Ku tak ingin terus bersembunyi, tak perduli akan apa yang terjadi. Mimpi-mimpi yang kuhabiskan tuk melihatnya, mengapa berakhir seperti ini? Aku menyukainya. Aku ingin senyuman itu tetap ada, walau sesaat ia akan menghilang seperti biasanya. Diantara putihnya suasana, kedua tanganku meraba udara tuk mencari sosoknya yang ditelan hujan. Dingin, kembang kempis dadaku mati rasa.
“Dimanakah engkau putri? Kuingin kau kembali tersenyum lagi. Selama ini ku hanya bisa melihatmu dari kejauhan karena kau terus menghilang saat ku dekati. Ku tak mengerti akan dirimu, namun aku menyukaimu! Walau ku tak mengerti akan kesedihanmu, setidaknya biarkan aku di sampingmu. Menghiburmu, laiknya pujangga di hadapan kekasihnya. Tunjukkan dirimu, wahai panah asmaraku!”
‘Zrrash!’
Hujaman air tiba-tiba berhenti begitu saja. Lengking teriakanku seolah memantul diantara bebatuan tebing, menembus hatinya.
Tanpa kusadari, jemariku telah bertaut dengan lentik jemarinya. Dia tersenyum padaku, begitu menawan nan tulus.
Terasa bening. Beberapa patah kata ia bisikkan.
“Aku juga menyukaimu, pujanggaku. Ku selalu menghilang darimu karena ku takut engkau kan sedih saat kehilangan diriku. Sejak mimpimu hadir, ku telah menyadari tak lama ku bersemayam dalam anganmu. Aku hadir, untuk menghembuskan rasa cinta dalam hatimu agar kau dapat merasakannya, dan coba menyadari akan kekasih yang sesungguhnya di alam nyata. Aku hanyalah perwujudan romansa Tuhan. Dan suasana kontras yang engkau lihat adalah gambaran bagi kisah cintamu!
Engkau kan merasa kecewa dan sedih. Maafkan aku yang telah menunjukkan semua ini padamu. Selamat tinggal”
Di balik punggungnya, melebar dua sayap malaikat. Perlahan ia terbang, melepaskan tautan jemarinya dari tanganku. Terbang mesra meliuk-liuk bersama alunan angin, menyibak gumpalan awan hingga menembus cahaya Tuhan yang turun dari surga. Ia berpisah selamanya padaku. Itulah pertama dan terakhir kali ku sentuh sosoknya. Lembut bagai kapas. Berwarna seperti pudaran kilau pelangi.
***
Mimpi itu berakhir, menguap bersama lamunan semu.
Di sebuah rumah sederhana, berkibar bendera merah, tanda akan kematian seseorang. Saat itu aku merasa sangat marah, sedih, bercampur rasa kecewa. Semuanya berakhir dengan ending yang menyesakkan dada. Rumah Karin bagai lautan manusia. Para pelayat saling berdesakan dengan petugas kepolisian saat sebuah keranda besar di gotong enam lelaki kekar. Sayup-sayup yassin dan dzikir tahlil bak dengung ribuan lebah, mengiringi keranda yang satunya menuju pemakaman. Beberapa orang meratapi kematian itu, namun lebih banyak yang saling berbisik gosip dan pandangan takut.
Inti percakapan merekalah yang membuat perasaanku berbalik 180 derajat membenci Karin. Semua rasa cinta ini berakhir tragis.
Kata mereka, kenapa? Kenapa semua ini dapat terjadi padahal tak satupun anggota keluarganya membenci dirinya? Memang keluarganya itu menemui masalah ekonomi, tetapi ayahnya sama sekali tak pernah berlaku keras terhadapnya. Beberapa tahun terakhir ia sedang mengalami gangguan kejiwaan sehingga jati diri lelakinya ia sembunyikan dengan penampilannya sebagai wanita!
Mengapa ia tega membunuh ibu dan adik perempuannya hanya karena gangguan jiwa? Dan mengapa pula malah ayahnya yang ditangkap pihak kepolisian, sedang ia menghilang tak tahu rimbanya?
Semua khayalan dan mimpiku berakhir saat ini juga. Dia yang kucintai ternyata hanyalah seorang lelaki psikopat!
Boyolali, 13 April 2016
Genre : Fantasy, Romance, Mistery

Tidak ada komentar:

Posting Komentar