Mimpi-mimpi Semu
By : KhaniFFauzan
Kesekian kalinya, mimpi itu terulang
kembali.
Sama. Setiap malam, mimpi itu datang
menghampiriku. Dalam lelap, semua terasa begitu nyata, indah, dan menggetarkan
dada. Aku melihatnya dengan jelas, sosoknya yang anggun, berparas bagai
malaikat surga nan bercahaya. Dia membiusku melalui alunan romansa.
Kulihat seorang putri sedang duduk
manis diatas altar yang dikelilingi bunga-bunga. Mawar, melati, tulip,
hembuskan semerbak mewangi. Menjulang tinggi aliran air dari sela-sela tebing
terjal, menjadi panorama disekelilingnya. Sejuk terpatri dalam hati ditengah
elok suasana cerah dimana awan berarak memenuhi cakrawala. Hangatnya sang mentari,
menambah syahdu latar suasana. Memandang dirinya, menentramkan diri.
Sayangnya, ku hanya bisa menikmati
indah parasnya dari kejauhan. Di balik rimbun pepohonan, ku melihatnya bermain
dengan alam. Kecipak air serta lantunan anggun bait-bait suci menjadi kebiasaannya. Ketika ku tak dapat
menahan diri untuk tak mendekatinya, tiba-tiba muncul semburat merah dari
langit. Senja pun turun perlahan, bersamaan dengan sosoknya yang menghilang
dalam keremangan.
Lalu sepi ku sendiri.
Saat ku terbangun, entah mengapa
kurasakan getar-getar halus menjalari dadaku. Rona indahnya selalu terbayang
lekat, pekat, membawaku menuju ranah khayali romansa. Bahaya sekali bila dada
ini meledak.
Di alam nyata, romansa berpadu
dengan panah-panah asmara. Segala puji kuhaturkan pada Tuhan yang menanam
benih-benih cinta ini, kudapat merasakan indahnya dunia ketika benih itu mulai
tumbuh meliuk-liuk dalam hati. Cintaku berhulu dari mata, lalu bermuara dalam
sosoknya.
Kujatuhkan
rasa ini pada seorang wanita teman sekelasku, yang selama ini tak pernah ku
perhatikan sebelumnya. Dua tahun melewati masa SMA, ternyata dialah yang
senantiasa hadir dalam mimpi-mimpiku. Karin namanya. Awal mula ku merasakannya
ialah, saat tangan kami tak sengaja bersentuhan ketika ku meminjam buku
catatannya. Dunia seakan berubah.
Hingga
saat ini, tak pernah ku alami mimpi yang lain.
***
Denting besi memecah keheningan
pagi. Waktu yang semula berhenti, kini terasa menggerus rona. Sayup-sayup,
terdengar pekik tertahan dari sebuah gudang kopra yang busuk. Dapat disaksikan
seonggok jasad wanita tergantung berayun-ayun ditengah ruangan. Bibirnya yang
telah membiru, menandakan degup jantungnya telah berhenti selamanya.
“Jangan kak! Jangan kau bunuh aku!”
Seorang perempuan terseok-seok panik. Matanya memancarkan ketakutan, melihat
sesosok lelaki mendekatinya dengan pisau terhunus di tangannya. Mulutnya
menyeringai, seolah keluarkan aroma busuk pembunuh. Jiwanya sedingin ular,
tanda hatinya telah mati. Perempuan itu mencoba melawan sia-sia. Disaat
nafasnya tercekat rasa takut, sebilah pisau menusuk dadanya berkali-kali. Darah
membanjiri lantai yang dingin.
Seonggok jasad yang menggantung,
seorang perempuan yang ditusuk, sang lelaki mengabadikan semua pemandangan ini
dengan kamera.
***
Satu hari yang lain dari biasanya,
kali ini aku tidak melihat senyuman itu lagi. Dalam mimpiku, ia terlihat
murung, seolah mengabaikan rayuan alam yang berusaha menghiburnya. Hawa eligi
berhembus dari jiwanya, membuat bunga-bunga layu satu per satu. Sinar matanya
kini meredup. Langit yang cerah kini mulai berselimut awan mendung. Apa yang
terjadi? Kemana semua kebahagiaan itu lenyap? Hari ini, seakan itu bukanlah
dirinya.
***
Akhir-akhir ini marak terjadi kasus
kekerasan dalam rumah tangga. Faktor ekonomi banyak menjadi masalah utama yang
memicunya, disertai dengan sikap sang kepala rumah tangga yang cenderung senang
menghabiskan uang untuk rokok dan judi, daripada memenuhi kebutuhan rumah
tangga. Apalagi jika sang isteri terkenal sikap gila belanjanya, tentulah
pailit ekonomi makin mencekik leher. Utang-utang menumpuk, rokok tak ada, judi
kalah terus. Timbul stress berkepanjangan dalam keluarga, teutama sang suami.
Karena hal itu, muncul percekcokan sebagai menu utama setiap hari, sehingga
berujung kasus kekerasan dalam rumah tangga.
Seperti itu yang terjadi pada Karin.
Lima hari silam, mendung menaungi wajahnya yang muram karena masalah
keluarganya. Kudengar tentang keadaannya dari sahabatku Amir, yang selama ini
kuminta jawabannya atas persoalan cintaku.
Selama
ini ku masih tak berani mengutarakan perasaanku, tapi ketika mendengar
masalahnya kuingin membantunya. Apa yang harus kulakukan untuk membantunya
jikalau ku memintanya membicarakan hal itu, ia menolaknya? Ia justru makin
menghindar dari keramaian dengan menenggelamkan diri pada kesunyian. Tak lagi
kulihat senyum manisnya, tak lagi kudengar canda tawanya, seakan dunia telah
menjauh darinya.
Seiring
waktu yang merangkak maju, tak pernah kulihat lagi sosoknya yang nyata.
***
Langit
merah saga keunguan, bercampur hitamnya mendung tutupi rona cakrawala kuning,
menjadi lambang eligi balada. Awan berarak melingkar-lingkar, semilir dingin
mencekam tegakkan bulu roma. Bunga-bunga layu, kering kerontang. Air terjun
dari tebing tak lagi jernih dengan warnanya yang cokelat pudar bercampur
lumpur. Pepohonan meranggas, menyisakan cabang-cabang bagai tanduk setan. Tanah
pecah-pecah, tak lagi subur. Di atas altar agung, wajahnya makin putus asa.
Semua keadaan ini berbeda sekali semula, kontras bagai hitam dan putih.
Hening,
sunyi. Mata lentiknya mengerjab-kerjab teteskan linangan intan.
Seperti
membisik, hujan pun turun deras. Kosong, tanpa makna berarti. Ku tak ingin
terus bersembunyi, tak perduli akan apa yang terjadi. Mimpi-mimpi yang
kuhabiskan tuk melihatnya, mengapa berakhir seperti ini? Aku menyukainya. Aku
ingin senyuman itu tetap ada, walau sesaat ia akan menghilang seperti biasanya.
Diantara putihnya suasana, kedua tanganku meraba udara tuk mencari sosoknya
yang ditelan hujan. Dingin, kembang kempis dadaku mati rasa.
“Dimanakah
engkau putri? Kuingin kau kembali tersenyum lagi. Selama ini ku hanya bisa
melihatmu dari kejauhan karena kau terus menghilang saat ku dekati. Ku tak
mengerti akan dirimu, namun aku menyukaimu! Walau ku tak mengerti akan
kesedihanmu, setidaknya biarkan aku di sampingmu. Menghiburmu, laiknya pujangga
di hadapan kekasihnya. Tunjukkan dirimu, wahai panah asmaraku!”
‘Zrrash!’
Hujaman
air tiba-tiba berhenti begitu saja. Lengking teriakanku seolah memantul
diantara bebatuan tebing, menembus hatinya.
Tanpa
kusadari, jemariku telah bertaut dengan lentik jemarinya. Dia tersenyum padaku,
begitu menawan nan tulus.
Terasa
bening. Beberapa patah kata ia bisikkan.
“Aku
juga menyukaimu, pujanggaku. Ku selalu menghilang darimu karena ku takut engkau
kan sedih saat kehilangan diriku. Sejak mimpimu hadir, ku telah menyadari tak
lama ku bersemayam dalam anganmu. Aku hadir, untuk menghembuskan rasa cinta
dalam hatimu agar kau dapat merasakannya, dan coba menyadari akan kekasih yang
sesungguhnya di alam nyata. Aku hanyalah perwujudan romansa Tuhan. Dan suasana
kontras yang engkau lihat adalah gambaran bagi kisah cintamu!
Engkau
kan merasa kecewa dan sedih. Maafkan aku yang telah menunjukkan semua ini
padamu. Selamat tinggal”
Di
balik punggungnya, melebar dua sayap malaikat. Perlahan ia terbang, melepaskan
tautan jemarinya dari tanganku. Terbang mesra meliuk-liuk bersama alunan angin,
menyibak gumpalan awan hingga menembus cahaya Tuhan yang turun dari surga. Ia
berpisah selamanya padaku. Itulah pertama dan terakhir kali ku sentuh sosoknya.
Lembut bagai kapas. Berwarna seperti pudaran kilau pelangi.
***
Mimpi
itu berakhir, menguap bersama lamunan semu.
Di
sebuah rumah sederhana, berkibar bendera merah, tanda akan kematian seseorang.
Saat itu aku merasa sangat marah, sedih, bercampur rasa kecewa. Semuanya
berakhir dengan ending yang menyesakkan dada. Rumah Karin bagai lautan manusia.
Para pelayat saling berdesakan dengan petugas kepolisian saat sebuah keranda
besar di gotong enam lelaki kekar. Sayup-sayup yassin dan dzikir tahlil bak
dengung ribuan lebah, mengiringi keranda yang satunya menuju pemakaman.
Beberapa orang meratapi kematian itu, namun lebih banyak yang saling berbisik
gosip dan pandangan takut.
Inti
percakapan merekalah yang membuat perasaanku berbalik 180 derajat membenci
Karin. Semua rasa cinta ini berakhir tragis.
Kata
mereka, kenapa? Kenapa semua ini dapat terjadi padahal tak satupun anggota
keluarganya membenci dirinya? Memang keluarganya itu menemui masalah ekonomi,
tetapi ayahnya sama sekali tak pernah berlaku keras terhadapnya. Beberapa tahun
terakhir ia sedang mengalami gangguan kejiwaan sehingga jati diri lelakinya ia
sembunyikan dengan penampilannya sebagai wanita!
Mengapa
ia tega membunuh ibu dan adik perempuannya hanya karena gangguan jiwa? Dan
mengapa pula malah ayahnya yang ditangkap pihak kepolisian, sedang ia
menghilang tak tahu rimbanya?
Semua
khayalan dan mimpiku berakhir saat ini juga. Dia yang kucintai ternyata hanyalah
seorang lelaki psikopat!
Boyolali,
13 April 2016
Genre
: Fantasy, Romance, Mistery
Tidak ada komentar:
Posting Komentar