Sabtu, 20 Agustus 2016

Cerpen : Cerita Kerikil Tentang Seorang Lelaki



Cerita Kerikil Tentang Seorang Lelaki

By : KhaniFFauzan

 

Tidak seperti biasanya, kulihat keadaanmu sekarang yang sangat berbeda. Kau sedang duduk terpekur bermadikan keringat, dibawah Patung Sang Arjuna yang gagah. Matamu nanar, menatap sliwer mobil-mobil bergerak mengelilingi bundaran patung itu. Engkaulah yang mereka kelilingi, begitulah kira-kira perasaanmu. Melihatnya, kadang kau tertawa sampai terlihat gigi-gigimu yang ompong. Tak jarang pula engkau merintih meratapi takdir.
            Roda-roda nasib bergerak cepat menggerus permukaan rona hidup. Selalu berjalan laiknya hembus angin menerpa wajah. Kadang meniupkan semilir kasih dan rindu, kadang pula menderukan kecamuk badai eligi. Engkau sedang berjuang dalam badai itu sekarang. Dan saat ini kau sedang berputus asa.
            Ramadhan telah puluhan kali kau rayakan bersama keluarga. Selama ini, aku selalu melihatmu tertawa sembari menggendong sang buah hati, manakala engkau berjalan ke masjid itu. Disana, kau selalu melantunkan puji-pujian pada-Nya. Dapat kulihat diantara awan-awan yang melingkar pada pekatnya malam, lantunan indahmu menembus petala langit.
            Sungguh bahagia menjadi dirimu, itulah yang ku pikirkan waktu pertama melihatmu. Engkau menikmati hidup dengan penuh kebahagiaan. Engkau bisa selalu sujud dan selalu memohon dalam do’a-do’amu demi kebaikan hidup atau matimu. Dan aku selalu iri, engkau selalu dapat berkumpul dan memanfaatkan waktumu dengan orang-orang suci. Menjadi dirimu adalah sebuah anugerah.
            Sedangkan aku? Setiap hari bergumul dengan debu-debu kotor yang selalu menghiasi wajahku, terinjak puluhan kaki-kaki makhluk tanpa pernah memperdulikanku. Aku hanyalah sebuah kerikil tajam yang selalu terhempas dan terlupakan. Entah bagaimana bisa diriku ada di sini, padahal semula posisiku ada di depan masjid. Jauh dari Patung Sang Arjuna
            Kuhabiskan waktuku tenggelam dalam keremangan hidup. Berkenalan dengan desir kafilah yang senantiasa menampar-nampar wajahku. Atau menjadi sasaran tendangan laiknya bola setiap ada manusia usil yang lewat. Banyak kawanku berakhir tergerus sedikit demi sedikit menjadi butiran pasir halus, tanpa sempat ucapkan selamat tinggal padaku.
            Tuhan telah menciptakan neraka dimana bahan bakarnya para manusia dan batu. Semua batu di dunia akhirnya akan ada di sana. Ah, malang sekali nasibku.
            Namun pada akhirnya Tuhan menciptakan segalanya sesuai pada tempatnya. Semua anganku agar diriku jadi sepertimu sirna sudah, melihatmu begini. Tepat disamping kakimu, kau curahkan semua kepedihan hatimu selama ini padaku. Sebuah kisah berselimut sendu mengalun bersama dingin malam yang makin menggigit kulitmu. Penghibur, sekaligus penyadar akan rasa syukurku pada-Nya.
***
            Saat itu, engkau masih menjadi seorang mahasiswa yang sedang menikmati masa mudanya. Selalu saja kau habiskan waktumu dalam kesia-siaan tak berujung seakan dunia hanyalah semua yang pernah dinikmati didepan mata.
            Hingga akhirnya kau terpuruk dalam jurang kesengsaraan. Utang-utangmu menumpuk. Teman-teman yang dulu membangga-banggakan dunia bersamamu telah pergi. Keluargamu berubah membencimu karena tahu, narkoba telah berhasil menjeratmu. Selama bertahun-tahun, waktumu habis untuk menangis dalam penjara.
            Di dalam penjara, kau selalu terpekur menyesali segalanya. Reputasimu sebagai mahasiswa teladan inspirasi sesamamu, hancur sudah. Segudang prestasi akademis yang susah payah kau kumpulkan, seakan tak ada bedanya dengan butiran debu yang lenyap oleh angin. Hanya karena satu jerat setan bernama narkoba, hidupmu menjadi tak ada artinya.
             Sampai pada suatu ketika di bulan ramadhan, dalam semarak sayup-sayup lantunan puji-pujian agung, kau menemukan setitik lentera terang tepat di pelupuk matamu. Seorang manusia mulia telah Tuhan kirimkan demi menuntunmu kembali pada-Nya, melalui kata-kata bijak yang ia lontarkan sewaktu khutbah dalam masjid penjara.
            “Ingatlah bahwa Allah sangatlah keras siksanya. Dia membalas semua perbuatan buruk manusia, walau setitik noktah yang dilakukan. Namun jangan lupakan bahwa Ia adalah Dzat yang maha pengampun. Walau ancamannya amat pedih, ia tetap akan menerima siapapun hamba-hambanya yang ingin kembali pada-Nya. Dia tahu seberapa besar dosa-dosa hambanya, namun Dia tak perduli bilamana hamba itu mau bertaubat dan kembali ke jalan yang benar”
            “Allah itu maha perkasa, maha penyiksa. Tapi ia juga maha pengampun, maha penyayang. Rahmat-Nya mendahului murka-Nya, maka jangan sia-siakan umur demi menyesali dosa-dosa. Segeralah bertaubat pada-Nya saudara-saudaraku”
            Seperti air pegunungan yang merembes di sela-sela bebatuan cadas, nasehat itu perlahan mengikis kerasnya hatimu. Sejuk terasa terpatri memenuhi rongga-rongga dadamu yang kosong akan hidayah Tuhan, menjadikanmu lapang selapang-lapangnya. Di matamu, semua dosa-dosa yang membelenggu akhirnya lenyap sudah, karena hadirnya cahaya yang kini perlahan menerangi hati. Engkau tak lagi berputus asa. Tangisanmu berubah menjadi tangis rindu akan ampunan. Seperti sebuah tanaman layu yang disiram kembali, engkau sekarang benar-benar hidup.
            Sepuluh tahun kemudian, engkau keluar dari penjara. Engkau berubah menjadi sama layaknya para manusia suci. Teman-teman sesama napi yang semula saling membenci, berubah saling menyayangi karenamu. Mereka selalu mendoakan keselamatanmu waktu kau akan berpisah dengan mereka. Sahabatmu sesama napi bernama Salim memberi nasehat berharga padamu sebelum kau benar-benar berpisah,
            “Ingatlah selalu pada kami ya, San. Dan jangan lupakan shalat seperti nasehatmu pada kami semua. Jaga selalu imanmu, karena sekarang engkau akan menghadapi dunia”
            Kau memeluk mereka seketika. Erat. Hingga meneteskan linangan haru. Semuanya menyayangimu, dan semuanya berat sekali melepaskanmu.
            Dunia lalu engkau hadapi. Jatuh, bangun, terjerembab, gagal, pantang menyerah selalu berusaha. Kau juga mulai mengenal wanita. Dalam masa-masa yang sulit, engkau menikah dan mempunyai dua anak yang lucu.
            Babak baru hidupmu dimulai, saat kau sadari Tuhan mulai mencurahkan rezeki berlipat di atasmu. Seperti air terjun, disana-sini engkau jumpai rezeki. Usahamu berdagang pakaian milik Juragan Kumar secara jujur dan penuh keikhlasan ternyata tak sia-sia.
            Para ustadz, hafidz, dan orang-orang shalih lainnya kau kenali. Rajin sekali kakimu melangkah ke rumah Tuhan, sebagai awal mula ku mulai bertemu denganmu. Seluruh keluarga kau ajak serta, menuju kerinduan akan kasih sayang sang pencipta. Lebih-lebih bila ramadhan datang dengan semilir rahmat-Nya, seakan rumahmu satu-satunya hanya masjid.
             Bertahun-tahun lama sekali engkau menikmati hidupmu. Namun, waktu ternyata menetapkan dirinya akan batasan nikmatmu. Roda takdir kembali berubah.
            Dua anakmu yang mengemaskan kini beranjak menjadi dua orang mahasiswa ternama. Engkau bersyukur punya anak seperti mereka, yang selalu taat akan perintah dan nasehatmu. Kau senang berhasil mendidik mereka dengan baik. Agama menjadi nomor satu bagi mereka, ilmu dunia telah berhasil mereka usahakan.
            Tapi kau terlalu sibuk dengan urusan mencari nafkah. Kau anggap semua baik-baik saja, hingga luput perhatianmu akan mereka.
            Saat itu Januari, dimana hujan deras selalu mengguyur sehari-hari. Langit malam makin pekat dengan deru hujan membasahi bumi. Kau sedang berleha-leha membaca koran sambil menikmati secangkir kopi manis. Istrimu juga menikmati waktunya dengan menonton sinetron. Tiba-tiba pintu rumahmu diketuk. Kau buka pintu rumahmu. Kau dapati anak pertamamu basah kuyup terkena hujan.
            Kau dapati mulutnya bau busuk alkohol. Ketika kau lihat kedua matanya, serupa seperti mata ikan mati. Engkau mulai curiga dan memberondong berbagai pertanyaan padanya tanpa ampun, tanpa sempat kau suruh dia mengganti pakaian. Ia menjawab semuanya sambil menahan dingin menggigil.
            Tanpa pernah engkau menyadarinya, ia telah terjebak dalam miras dan narkoba. Dua hal yang paling kau benci seumur hidupmu.
            Seharusnya setelah ia begitu jujur, engkau lebih bijaksana menyikapinya.
            Namun teramat mudah amarahmu tersulut. Kau tampar dia, engkau caci maki sosoknya. Walau ia berkali-kali bersimpuh di kakimu mengharap kata maaf, tetap saja kau bergeming. Pikiranmu ternyata masih begitu dangkal untuk menerima keadaan semacam ini. Dengan nafas terengah, kau usir dia di tengah dingin mencekat leher-leher.
Harapan akan kembali pupus sudah. Kau sirami benih keputusasaannya dengan kemarahan. Kau tak lagi mendengar kabar keberadaannya hingga lima bulan kemudian.
Ia ditemukan di kost-annya, terbaring lemah bersimbah darah di sekujur tubuhnya. Sebilah pisau masih ia genggam dengan nafas tersengal dan detak nadi yang makin melemah. Ia tidak mencoba bunuh diri. Namun, hal itu disebabkan akibat penganiayaan sejumlah bodyguard rentenir karena ia tak kunjung membayar hutangnya. Hutangnya menumpuk guna membeli narkoba dan alkohol.
Di rumah sakit, ia hembuskan nafas terakhirnya. Namun sebelum ia meninggal, ia masih sempat mengucapkan beberapa patah kata padamu,
“Maafkan aku ayah, aku bukanlah anak yang baik untukmu. Tolong ridhailah diriku yah, sebelum aku meninggalkanmu selamanya”
Engkau menangis. Kau menyesal. Kau cium jasadnya berbau harum tanpa parfum. Jauh-jauh hari sebelum kematiannya, ia telah bertaubat. Namun sayang sekali, sesalmu tiada gunanya.
Lalu sedikit demi sedikit kesedihan menimpamu. Kau terlalu tenggelam dalam kesedihan akan hal itu, hingga membuat bisnis dagangmu terbengkalai. Istrimu pontang panting membiayai keluarga, padahal kau tahu tubuhnya sangatlah lemah. Anak keduamu membencimu dan menyalahkan akan kematian kakaknya. Ia pergi dari rumah, selamanya.
Pada awal ramadhan, kau tinggalkan segalanya yang mengingatkanmu pada anakmu. Manusia adalah makhluk yang paling rapuh, sangat rapuh hatimu ketika menyikapi keadaan. Terlunta-lunta, dirimu terseok-seok sepanjang jalan. Kau dianggap gila, menjadi gelandangan yang kerap terhempas kehidupan jalanan.
Hingga akhirnya, kau meratapi nasibmu di sini. Bersamaku, yang masih setia mendengarkan keluh kesahmu.
***
Aku hanyalah kerikil tajam. Kecil, terlupakan selalu dalam setiap waktu. Namun aku bersyukur tak menjadi manusia yang berhati rapuh dan mudah terombang-ambing akan keadaan. Aku tak pernah merasa sakit atau pun sedih yang membuatku meratapi akan nasib yang selalu menderu.
Kalau aku bisa bicara dan bergerak, akan kutampar dia dan ku maki-maki dirinya agar sadar dengan keadaan. Selalu, nasib itu terus meroda. Bila manusia tak dapat menghadapi kenyataan, untuk apa mereka hidup? Inti dari hidup adalah berkelahi, maka hadapilah dunia untuk memenangkannya.
Manusia punya Tuhan, dan mereka selalu menyembahnya. Maka, manfaatkanlah Tuhan untuk berkeluh kesah. Dia yang kuasa mengatur hidup. Dia takkan meninggalkan manusia sendirian. Seperti ketika dalam penjara, dirinya bisa bangkit karena Tuhan. Mengapa saat ini dirinya tak bisa bangkit lagi?
Saat ku masih mencaci dirimu dalam diam, sebuah mobil berhenti di depanmu. Keluar dari dalamnya, seorang pemuda tampan yang terlihat cemas menatapmu.
“Ayo pulang ayah! Sudah setahun engkau tinggalkan rumah, anakmu ini bingung mencarimu kemana-mana. Lupakan segalanya! Semua telah berlalu”
Ia lalu mengamit lenganmu, lalu memasukkanmu ke dalam mobilnya. Tak perduli akan bau busuk yang menguar dari sela-sela ketiakmu.
Oh sial, aku kembali merasa iri pada manusia. Meski mereka melemah, jatuh, atau terjerembab ke jurang sekalipun, masih ada yang menyayanginya. Mereka ada dan kuat mengatasi roda nasib karena ada yang menemani perjuangannya.
Kembali ku sendiri disini, ditemani cakrawala yang perlahan mengumpulkan gumpalan awan, meneteskan rintik hujan.
Boyolali, 18 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar