Sabtu, 20 Agustus 2016

Cerpen : Orang Lemah


Orang Lemah

By : KhaniFFauzan

 

            Manusia yang paling mengenaskan adalah orang lemah. Selalu, mereka tertindas dihimpit orang-orang sok kuat yang kerap di laknat. Orang lemah adalah budak, bidak, selalu mati paling awal dalam setiap peperangan. Kebanyakan adalah beban memberatkan yang tak jarang menambah kematian (cenderung dilindungi-tidak bisa balik melawan). Disisi lain, mereka hanyalah makhluk tak berguna.
            Itulah faktanya. Saat aku berjalan bersendak-sendak.
            ‘Bugh!!’
            Sekepal tangan melayang di pelipisnya. Muka dan dada lebam-lebam semua.
            ‘Duash!’
            Tubuhnya melayang berdebum kena tendangan keras. Ia meringkuk memegangi perutnya yang kesakitan. Sayang sekali, kembali memantul di kulit-kulitnya makian dan perpeloncoan.
            Entah bagaimana hal ini dapat terjadi setiap hari. Di belakang sekolah, lima monster hasil evolusi setan gila, mengeroyok satu kelinci. Aku heran, kenapa kelinci itu tak mati-mati?
            ‘Brugh’
            Para monster lalu meninggalkan si orang lemah setelah puas mempermainkannya. Sendiri, di pojokan gedung ia luka lara di tahannya. Isi dompet miliknya berhamburan keluar, hanya tersisa belenggu penderitaan.
            Dan aku hanya termangu melihatnya. Pemandangan yang sering terjadi saat ingin ke kantin.
***
            Dani namanya. Ringkih orangnya.
            Tiada berliter-liter air matanya tumpah kecuali mengingat ibunya bersemayam di alam baka. Selama 5 tahun 5 bulan 5 hari, tak lepas segala kenangan dari benaknya tentang senyuman itu. Selalu bibirnya merintih lewat doa-doa, memohon Yang Kuasa tuk selalu merawat sosok cintanya dalam damai. Dalam diam, dalam dekapan, bunga-bunga ilalang berhamburan di hatinya. Menebarkan semerbak kasih sayang.
            Dirinya begitu baik. Penuh cinta setiap helai uraian kisah sedihnya. Dekil sosoknya, miskin dompetnya, merah matanya kurang tidur. Sayang, lima Iblis selalu menambah penderitaannya.
            Namun, tak peduli bagaimanapun ia, itu semua bukan urusanku.
***
            Manusia yang suka menindas adalah wujud dari setan. Muka mereka keruh bak lumpur, sampai semut-semut enggan menengok sosoknya-takut kena tula.
            Sebab musabab para setan jadi biadab karena perbuatan Dani yang tak di sengaja. Sore waktu itu, alkohol berkaleng-kaleng di belakang sekolah, Dani kebetulan memergoki. Dia telah berjanji, namun entah bagaimana, kabar itu bisa merasuki telinga-telinga penggosip. Kicau burung merepet bisik-bisik, sampai akhirnya para setan dilaknat Dewa sekolah. Skorsing total. Pengangguran edan.
            Menyimpan dendam, seperti menaruh bangkai dalam dada. Makin hari makin tengik, jadi penyakit, jadinya semua ikutan busuk. Hati busuk, mulut busuk, otak busuk, sampai panca indera senang menikmati hal-hal busuk. Kalau barang sudah busuk, jadinya harus dibuang ke tempat sampah. Agar sampah musnah, semuanya itu dibakar dalam neraka.
            Sayang, Tuhan belum membakarnya. Mereka masih menikmati waktu-waktu gila.
            Kurang puas hanya menganiaya, mereka ingin merusak segalanya tentang Dani. Sepulang sekolah, kelimanya menyerbu apartemen Dani berdengus-dengus. Ada yang menyaksikan tragedi itu, tapi emang sih sifat dasar manusia maunya aman-aman aja. Ada pula manusia lewat lalu sembunyi-itu aku, sinting merekam peristiwa itu penuh senyuman. ‘Pasti banyak subscribe di YouTube!’ kata sorot matanya.
            Menggunakan tongkat bisbol, kepala di hempaskan. Kaki menjejak-jejak punggung, kursi-kursi di lemparkan. Ruang tamu jadi kapal pecah. Semua jendela kaca pecah, mereka koor berteriak senang! Dani batuk darah.
            Dia jatuh telungkup ditindih, tangannya diikat jemari ke punggungnya. Helai rambut ditarik keras. Seorang raksasa ada di depannya. Tersenyum lebar. Menggenggam dompetnya. Beberapa lembar uang berpindah ke kantung kumal, oh sebuah foto hitam putih terselip.
            Dani berteriak ‘Jangan!’
            Mata raksasa itu membulat.
            Tanpa banyak cingcong, gambar itu tercerai berai jadi serpihan yang diinjak-injak.
            Tak cukup, demikianlah tak cukup.
             Semua senyuman dalam bingkai, hancur berkeping-keping di depan Dani. Mereka robek, mereka bakar jadi abu. Sisanya bertaburan pada wajahnya. Bergetar rongga-rongga dadanya.
            Pekik mendengking berisik. Setan jahat pada tertawa tersedak-sedak macam kejang-kejang habis menenggak sianida. Sampai hampir mampus, mereka meninggalkannya terkapar.
            Lantas, kukirim video ini ke YouTube.
***
            Bukan muram, bukan senyum, bukan sedih, bukan gembira. Tak tahu itu ekspresi apa.
            Esok ia berangkat ke sekolah-tentu penuh lebam-tentu pakai tongkat-tentu ditanya ini itu banyak di kasihani. Sehari macam setan budek bin bisu. Tanpa ekspresi.
            Besoknya, kembali ke sekolah. Bawa tas, tapi tak ada buku. Tatapannya kosong dan nanar. Masih saja para biadab itu menganiayanya namun tidak mengambil uangnya. Udah abis brow!
            Besoknya lagi ia berangkat. Tanpa tas, tanpa buku, seragam masih seperti kemarin, awut-awutan. Lalat-lalat merubunginya. Guru menyuruhnya cuci muka. Tapi sampai akhir pelajaran, ia tak kembali.
            Kutu-kutu kepalanya berpesta pora akibat dekil sosoknya. Matanya merah, sayu. Tak ada yang benar-benar peduli-cari aman tanpa masalah. Bahkan para guru dan tetangganya begitu.
Sudah tiga hari berselang dalam hening.
Kulitnya mulai memutih pucat serupa mayat.
***
Hari keempat, hujan menerpa atap-atap seng bergemerincingan.
Dia tidak berangkat. Lagipula, hujan ini emang sejak tadi malam kerasan tak jua reda. Bertambah-tambah deru angin menghempas jagad. Hanya orang tak waras yang sembarangan keluar rumah menghadapinya. Di sinilah aku. Di temani tiga wanita dan lima pria pengangguran, dari total tiga puluh siswa. Guru-guru pada tidur di rumah semua.
Bel istirahat berdentang. Tiba-tiba lampu mati.
Semua keluar cari cahaya. Di langit, awan hitam bergulung-gulung. Desir kencang menampar-nampar wajahku beserta tampias dinginnya. Aneh? Perasaan takut apa ini?
Kelokan parit mengalirnya air kuamati jadi pelepas bosan. Lekat, dahiku berkerut-kerut. Alirannya bening, tapi lama-lama keruh. Berbau?
Langkah kakiku mengikuti arah kelokannya, coba cari penyebabnya. Berbelok-belok. Hujan-hujanan gak peduli.
Dan kini kusadari faktanya, saat aku berjalan bersendak-sendak.
Aku tersedak-sedak.
“Apa ini?!” Kilat muncul mencelap.
Demi Tuhan, sungguh, nanar mataku melihatnya. Bak habis tersengat kalajengking, badanku terjengkang, lemas, sempoyongan, terduduk mencengkram rambut basahku. Perutku tertohok macam habis di tendang orang, aku muntah-muntah beriak. Tersengal-sengal hebat!
Di belakang sekolah, di depan mataku, lima monster itu berubah menjadi cacahan daging bertumpuk-tumpuk. Kecil-kecil wujudnya, bisa di goreng layaknya potongan ayam. Semua terburai, semua tercerai berai. Anyir baunya berkelok jadi satu dengan aliran hujan sepanjang parit-parit.
Ada satu sosok yang masih hidup setengah badan. Wajahnya bergurat-gurat penuh luka menganga campur lumpur. Ia merintih minta tolong. Saat itulah kilatan pisau menembus tengkuknya sampai rongga mulut. Membungkam selamanya.
  Petir menyambar-nyambar. Sosok sang kelinci kini telah berubah jadi jagal. Kumal. Matanya bersinar-sinar. Tersenyum bibir pecah-pecahnya, sekujur tubuh warna merah semua. Pisaunya meneteskan darah segar.
“Freddy…” Lirih ia panggil namaku, “maafkan aku atas semua yang kau lihat ini. Kepada setan-setan aku tidak berharap hal-hal mengerikan. Ini adalah keadilan …”
Ia melangkah maju mendekatiku. Tergesa badanku mundur menggesek lumpur.
“Demi keadilan, takkan kubiarkan segalanya terulang kembali. Engkau selalu berada di sekitarku selama ini. Sayang, engkau buta. Kau biarkan segalanya terjadi. Aku takkan bertanya kenapa kau tak jua menolongku sebab kini, pertanyaan itu sudah basi. Orang sepertimu kelihatannya lebih cocok jadi mayat
Aku menggeleng, berbalik ingin berlari, dan terjatuh. “Tidak ..tidak Dani, maafkan aku!”
Semakin dekat. Pisau itu teracung acung. “Aku tak melihat, aku tak mendengar, aku tak mengerti. Hanya warna kematian yang ada di mataku ini”
Kakiku menjejak keras tanah berlumpur, semburat ketakutan mencuat. Trauma psikologis mengitari kepengecutanku. Seketika, bayang-bayang kematian telah datang menembusku.
Orang lemah tak selamanya lemah. Mereka bahkan menjadi lebih kejam daripada orang-orang sok kuat tanpa di sadari.
Boyolali, 29 Juli 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar