Orang Lemah
By : KhaniFFauzan
Manusia yang
paling mengenaskan adalah orang lemah. Selalu, mereka tertindas dihimpit
orang-orang sok kuat yang kerap di laknat. Orang lemah adalah budak, bidak, selalu
mati paling awal dalam setiap peperangan. Kebanyakan adalah beban memberatkan
yang tak jarang menambah kematian (cenderung dilindungi-tidak bisa balik melawan).
Disisi lain, mereka hanyalah makhluk tak berguna.
Itulah faktanya.
Saat aku berjalan bersendak-sendak.
‘Bugh!!’
Sekepal tangan
melayang di pelipisnya. Muka dan dada lebam-lebam semua.
‘Duash!’
Tubuhnya melayang berdebum
kena tendangan keras. Ia meringkuk memegangi perutnya yang kesakitan. Sayang
sekali, kembali memantul di kulit-kulitnya makian dan perpeloncoan.
Entah bagaimana
hal ini dapat terjadi setiap hari. Di belakang sekolah, lima monster hasil
evolusi setan gila, mengeroyok satu kelinci. Aku heran, kenapa kelinci itu tak
mati-mati?
‘Brugh’
Para monster lalu
meninggalkan si orang lemah setelah puas mempermainkannya. Sendiri, di pojokan
gedung ia luka lara di tahannya. Isi dompet miliknya berhamburan keluar, hanya
tersisa belenggu penderitaan.
Dan aku hanya
termangu melihatnya. Pemandangan yang sering terjadi saat ingin ke kantin.
***
Dani namanya.
Ringkih orangnya.
Tiada berliter-liter
air matanya tumpah kecuali mengingat ibunya bersemayam di alam baka. Selama 5
tahun 5 bulan 5 hari, tak lepas segala kenangan dari benaknya tentang senyuman
itu. Selalu bibirnya merintih lewat doa-doa, memohon Yang Kuasa tuk selalu
merawat sosok cintanya dalam damai. Dalam diam, dalam dekapan, bunga-bunga
ilalang berhamburan di hatinya. Menebarkan semerbak kasih sayang.
Dirinya begitu
baik. Penuh cinta setiap helai uraian kisah sedihnya. Dekil sosoknya, miskin
dompetnya, merah matanya kurang tidur. Sayang, lima Iblis selalu menambah
penderitaannya.
Namun, tak peduli
bagaimanapun ia, itu semua bukan urusanku.
***
Manusia yang suka
menindas adalah wujud dari setan. Muka mereka keruh bak lumpur, sampai
semut-semut enggan menengok sosoknya-takut kena tula.
Sebab musabab para
setan jadi biadab karena perbuatan Dani yang tak di sengaja. Sore waktu itu,
alkohol berkaleng-kaleng di belakang sekolah, Dani kebetulan memergoki. Dia
telah berjanji, namun entah bagaimana, kabar itu bisa merasuki telinga-telinga
penggosip. Kicau burung merepet bisik-bisik, sampai akhirnya para setan
dilaknat Dewa sekolah. Skorsing total. Pengangguran edan.
Menyimpan dendam,
seperti menaruh bangkai dalam dada. Makin hari makin tengik, jadi penyakit,
jadinya semua ikutan busuk. Hati busuk, mulut busuk, otak busuk, sampai panca indera
senang menikmati hal-hal busuk. Kalau barang sudah busuk, jadinya harus dibuang
ke tempat sampah. Agar sampah musnah, semuanya itu dibakar dalam neraka.
Sayang, Tuhan belum
membakarnya. Mereka masih menikmati waktu-waktu gila.
Kurang puas hanya
menganiaya, mereka ingin merusak segalanya tentang Dani. Sepulang sekolah, kelimanya
menyerbu apartemen Dani berdengus-dengus. Ada yang menyaksikan tragedi itu,
tapi emang sih sifat dasar manusia maunya aman-aman aja. Ada pula manusia lewat
lalu sembunyi-itu aku, sinting merekam peristiwa itu penuh senyuman. ‘Pasti
banyak subscribe di YouTube!’ kata sorot matanya.
Menggunakan
tongkat bisbol, kepala di hempaskan. Kaki menjejak-jejak punggung, kursi-kursi
di lemparkan. Ruang tamu jadi kapal pecah. Semua jendela kaca pecah, mereka
koor berteriak senang! Dani batuk darah.
Dia jatuh
telungkup ditindih, tangannya diikat jemari ke punggungnya. Helai rambut
ditarik keras. Seorang raksasa ada di depannya. Tersenyum lebar. Menggenggam
dompetnya. Beberapa lembar uang berpindah ke kantung kumal, oh sebuah foto
hitam putih terselip.
Dani berteriak
‘Jangan!’
Mata raksasa itu
membulat.
Tanpa banyak
cingcong, gambar itu tercerai berai jadi serpihan yang diinjak-injak.
Tak cukup,
demikianlah tak cukup.
Semua senyuman dalam bingkai, hancur
berkeping-keping di depan Dani. Mereka robek, mereka bakar jadi abu. Sisanya
bertaburan pada wajahnya. Bergetar rongga-rongga dadanya.
Pekik mendengking berisik.
Setan jahat pada tertawa tersedak-sedak macam kejang-kejang habis menenggak
sianida. Sampai hampir mampus, mereka meninggalkannya terkapar.
Lantas, kukirim
video ini ke YouTube.
***
Bukan muram, bukan
senyum, bukan sedih, bukan gembira. Tak tahu itu ekspresi apa.
Esok ia berangkat
ke sekolah-tentu penuh lebam-tentu pakai tongkat-tentu ditanya ini itu banyak
di kasihani. Sehari macam setan budek bin bisu. Tanpa ekspresi.
Besoknya, kembali
ke sekolah. Bawa tas, tapi tak ada buku. Tatapannya kosong dan nanar. Masih
saja para biadab itu menganiayanya namun tidak mengambil uangnya. Udah abis brow!
Besoknya lagi ia
berangkat. Tanpa tas, tanpa buku, seragam masih seperti kemarin, awut-awutan. Lalat-lalat
merubunginya. Guru menyuruhnya cuci muka. Tapi sampai akhir pelajaran, ia tak
kembali.
Kutu-kutu
kepalanya berpesta pora akibat dekil sosoknya. Matanya merah, sayu. Tak ada
yang benar-benar peduli-cari aman tanpa masalah. Bahkan para guru dan
tetangganya begitu.
Sudah tiga hari berselang dalam hening.
Kulitnya mulai memutih pucat serupa mayat.
***
Hari keempat, hujan menerpa atap-atap seng bergemerincingan.
Dia tidak berangkat. Lagipula, hujan ini emang sejak tadi malam kerasan
tak jua reda. Bertambah-tambah deru angin menghempas jagad. Hanya orang tak
waras yang sembarangan keluar rumah menghadapinya. Di sinilah aku. Di temani
tiga wanita dan lima pria pengangguran, dari total tiga puluh siswa. Guru-guru
pada tidur di rumah semua.
Bel istirahat berdentang. Tiba-tiba lampu mati.
Semua keluar cari cahaya. Di langit, awan hitam bergulung-gulung.
Desir kencang menampar-nampar wajahku beserta tampias dinginnya. Aneh? Perasaan
takut apa ini?
Kelokan parit mengalirnya air kuamati jadi pelepas bosan. Lekat,
dahiku berkerut-kerut. Alirannya bening, tapi lama-lama keruh. Berbau?
Langkah kakiku mengikuti arah kelokannya, coba cari penyebabnya.
Berbelok-belok. Hujan-hujanan gak peduli.
Dan kini kusadari faktanya, saat aku berjalan bersendak-sendak.
…
Aku tersedak-sedak.
“Apa ini?!” Kilat muncul mencelap.
Demi Tuhan, sungguh, nanar mataku melihatnya. Bak habis tersengat
kalajengking, badanku terjengkang, lemas, sempoyongan, terduduk mencengkram
rambut basahku. Perutku tertohok macam habis di tendang orang, aku
muntah-muntah beriak. Tersengal-sengal hebat!
Di belakang sekolah, di depan mataku, lima monster itu berubah
menjadi cacahan daging bertumpuk-tumpuk. Kecil-kecil wujudnya, bisa di goreng
layaknya potongan ayam. Semua terburai, semua tercerai berai. Anyir baunya
berkelok jadi satu dengan aliran hujan sepanjang parit-parit.
Ada satu sosok yang masih hidup setengah badan. Wajahnya
bergurat-gurat penuh luka menganga campur lumpur. Ia merintih minta tolong.
Saat itulah kilatan pisau menembus tengkuknya sampai rongga mulut. Membungkam
selamanya.
Petir menyambar-nyambar. Sosok sang kelinci
kini telah berubah jadi jagal. Kumal. Matanya bersinar-sinar. Tersenyum bibir
pecah-pecahnya, sekujur tubuh warna merah semua. Pisaunya meneteskan darah
segar.
“Freddy…” Lirih ia panggil namaku, “maafkan aku atas semua yang kau
lihat ini. Kepada setan-setan aku tidak berharap hal-hal mengerikan. Ini adalah
keadilan …”
Ia melangkah maju mendekatiku. Tergesa badanku mundur menggesek
lumpur.
“Demi keadilan, takkan kubiarkan segalanya terulang kembali. Engkau
selalu berada di sekitarku selama ini. Sayang, engkau buta. Kau biarkan
segalanya terjadi. Aku takkan bertanya kenapa kau tak jua menolongku sebab
kini, pertanyaan itu sudah basi. Orang sepertimu kelihatannya lebih cocok
jadi mayat”
Aku menggeleng, berbalik ingin berlari, dan terjatuh. “Tidak
..tidak Dani, maafkan aku!”
Semakin dekat. Pisau itu teracung acung. “Aku tak melihat, aku tak
mendengar, aku tak mengerti. Hanya warna kematian yang ada di mataku ini”
Kakiku menjejak keras tanah berlumpur, semburat ketakutan mencuat. Trauma
psikologis mengitari kepengecutanku. Seketika, bayang-bayang kematian telah
datang menembusku.
Orang lemah tak selamanya lemah. Mereka bahkan menjadi lebih kejam
daripada orang-orang sok kuat tanpa di sadari.
Boyolali, 29 Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar