Senin, 12 September 2016

Cerpen : Percobaan Bunuh Diri

Percobaan Bunuh Diri
Hasil gambar untuk bunuh diri pakai suntik
By : KhaniFFauzan
Bumi itu datar atau bulat?
Pertanyaan itu selalu menggantung di langit-langit pikiranku. Semenjak hadir kembali paham bumi itu datar, membuatku ragu akan kebenaran ilmu pengetahuan. Teori-teori ilmuan terbantahkan, kebohongan-kebohongan NASA terkuak, namun entahlah yang di katakan penganut flat earth society itu benar atau sekedar cari sensasi.
Aku ingin membuktikannya dengan sebenar-benar bukti yang meyakinkan. Bukan hanya sekedar percaya saja. Lalu bagaimana caranya?
Dengan menggabungkan antara ilmu pengetahuan, metafisika, dan agama, aku telah menemukan kesimpulan akhir demi pembuktian bentuk bumi. Aku akan terbang menembus atmosfer, dan dengan mata kepalaku sendiri ku kan melihatnya. Lalu?
Pakai ruh saja. Jasad tinggalkan di bumi.
Dalam video-video bumi datar, di terangkan bahwa belum ada manusia yang sanggup menuju luar angkasa. Penjelasan NASA pernah ke luar angkasa hanya kebohongan, dan roket-roket yang pernah diluncurkan hanya meledak di atmosfer.
Cara ngeluarin ruh gimana?
Yaa.. bunuh diri lah!
***
Banyak sih sebenarnya cara-cara ngeluarin ruh. Ilmu-ilmu ghaib seputar itu bertebaran dimana-mana, sayangnya aku tak percaya semua itu. Mungkin ada juga sih yang mengaku berhasil praktekinnya, namun kebanyakan cuma kesurupan atau halusinasi sesaat.
Bunuh diri itu sakit lho.
Tapi dengan alat-alat yang kurancang, kukira semua beres!
Dalam laboratorium, telah siap alat-alat tuk memulai perjalanan menembus berbagai alam. Sebuah tabung seukuran manusia yang terhubung dengan penyetabil suhu, kitab-kitab primbon, buku-buku rajah beserta sesajinya, semua siap. Seorang kawanku, Adrian, jadi operator yang mengatur hubungan antara ruhku dengan jasad, agar aku tak benar-benar mati.
Sedikit cerita selingan tentang mimpiku semalam yah!
Sehari sebelum kumantapkan tekadku, aku bermimpi berdiri di tengah kegelapan. Tiba-tiba semua terang seperti siang bolong, lalu ada sebilah pisau menembus perutku dari belakang! Ketika kulihat orang di belakangku, ternyata ia Adrian!
Itu hanya mimpi lho. Bunga tidur tanpa makna.
“Tertanggal 5 Agustus, engkau akan memulai perjalananmu. Tingkat keberhasilan adalah 10%. Jika gagal, pilihannya adalah mati. Kau siap?”
Aku mengangguk pada Adrian setelah masuk ke dalam tabung. “Siap”
Tabung menutup rapat. Selang-selang infus terpasang. Mesin-mesin di jalankan. Untuk memulainya, aku meminum kopi yang telah di campur sianida. Pening menjalari kepalaku, tubuhku kejang-kejang hebat, Adrian lalu menyuntikkan penawar racun yang telah di campur morfin 0.5 gram. Mataku memerah, rasanya perih sekali. Mengerjab-kerjap dalam gelap. Tanpa rasa.
Desir halus terasa di tengkukku. Syaraf-syaraf tercerabut satu per satu. Mulai dari kaki, ke pusar, lalu kerongkongan. Nah, saat di sinilah rasanya seperti di panggang hidup-hidup di atas bara api, atau seperti ketika lehermu tertancap tombak bercabang hingga menembus tengkuk lalu di cabut paksa. Kira-kira rasanya seperti itulah.
Namun, samar telingaku menangkap lengking sirine darurat. Aku tak tahu apa yang terjadi, yang jelas rasanya seperti ribuan tombak bercabang menembus sekujur badanku, lalu di tarik, lalu menembus kembali, beratus-ratus kali amat menyiksa.
Kemudian perlahan berkurang, stabil, rasanya ringan.
Tanpa kusadari, tubuhku melayang-layang di atas ruangan. Kulihat jasadku kejang-kejang hebat, hingga hidung dan sela-sela mataku mengeluarkan darah tanpa henti. Adrian berkali-kali menyekanya, tak kunjung reda.
Coba kusentuh jasadku, namun tembus. Sejenak ku merasa panik, coba kumasuki jasadku. Tak bisa. Wajah Adrian makin pias, tubuhku bergetar hebat makin membiru. Lalu tanpa ragu, Adrian mengambil sebilah pisau.
Ujungnya yang runcing menembus dadaku. Adrian membisikkan kata maaf.
Tiba-tiba, ruhku tersentak ke atas seperti tersedot. Terus menembus atmosfer, kutahan perih menjalari sekujur tubuh dengan kupejamkan mata.
Sampai di angkasa.
Tak dapat kulihat bentuk bumi.
Yang ada hanyalah ribuan makhluk bersayap yang besarnya menutupi cakrawala. Salah satu dari mereka ternyata sejak tadi mengamitku menuju lebih ke atas lagi. Lebih tinggi lagi. Hingga akhirnya ia lalu melemparku dalam kubangan api.
“Ia mati bunuh diri” begitu bisiknya pada makhluk sejenisnya.
Aku tenggelam dalam siksaan tanpa akhir!
…..
‘Gedebuk!’
“Arrgh…!!”
 Aku terjatuh dari kursiku. Di atas meja belajar, dimana-mana masihlah terserak benda-benda penelitian yang belum sempat kuselesaikan. Semua hanyalah ilusi.
“Mimpi sialan!” gerutuku.
Semarang, 06 September 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar