Jumat, 30 September 2016

Melayang Ditengah Asa nan Penuh Eligi

MELAYANG DI TENGAH ASA NAN PENUH ELIGI

Bertebaranlah…
Sayap-sayap patah mereguh sang surya
Kepak tiap kibasnya meretas asa
Sangat manis
Berselimut kegetiran
Hidup senantiasa meroda
Memutus syaraf-syaraf ternoda
Naik turun terjerembab
Dalam hening embun nan lembab
Aku …
Selalu …
Percayalah padaku dalam mimpi-mimpimu
Gurat takdir menyimpan sejuta harapan
Menenggelamkan seluruhnya
Senantiasa …
Melenguh di tengah kehampaan
Walau hiruk pikuk mengganggu ketentraman
Bertebaranlah …
Warna-warni romansa
Memainkan melodi, hembuskan asa yang perlahan sirna oleh waktu
By : KhaniFFauzan

16 Oktober 2015

Derap-derap Terikat



DERAP-DERAP TERIKAT

Simpul-simpul sambung menyambung
Memainkan benang-benang merah
Merahnya merah mengikat memikat
Dalam tutur serta rona berklebat-klebat
Terjatuh…
Jarum kecil nan tajam terhempas
Hamparan kain dari rajutan telah selesai
Tamat sudah, ternaungi aroma tanah menggetarkan hati
Panasnya dada mengalirkan semua rasa
Linangan intan membasahi bumi
Tidurlah engkau maka tidurlah
Kembalilah dalam genggaman elegan nan penuh kegembiraan
Rajut merajut meneteskan keringat telah berhasil
Sejauh mata memandang
Dengan tumpah meruah merahnya darah
Naungan himne berkumandang
Tangis kesedihan berakhir dengan pekikan
Kepal tangan menjulang-julang memekik ribuan asa
Merdeka!
Oh satu kata itu
Haruskah ditukar seribu nyawa?

By : KhaniFFauzan
16 Oktober 2015

Kamis, 29 September 2016

Eksistensi Sejuta Warna



EKSISTENSI SEJUTA WARNA
Alangkah indahnya …


Terang bintang menyembul diantara bayang-bayang


Meski begitu …


Dansa senantiasa kan bergulir dalam memori


Tirai-tirai putih tersibak di jendela


Berpuluh, berates, beribu warna tersirat


Misteri menghalangi langkah nan pelan


Semua kan berakhir, semua kan musnah


Pantul-pantulan kilat menggetarkan kepahitan


Menjadi warna …


Sebuah eksistensi …


Menjadi harapan …


Sekaligus kematian …


Menyeruak …


Berseru …


Merintih …


Sedih …


Terpana …


Lenyap sudah …


Terhempas oleh waktu-waktu



By : KhaniFFauzan
16 Oktober 2015

Selasa, 27 September 2016

Abadi



ABADI

Anugerah Ilahi teramat merekat

Insan-insan terliputi aroma bening

Tanpa rupa bisa dirasa

Sulit di ungkap, sulit di kata

Menautkan antar jemari

Mengalir pekat getaran sunyi

“Kami yakin kan bersatu kembali”

“Di tangan Ilahi, segalanya abadi”


08 April 2016
By : KhaniFFauzan

Senin, 12 September 2016

Cerpen : Percobaan Bunuh Diri

Percobaan Bunuh Diri
Hasil gambar untuk bunuh diri pakai suntik
By : KhaniFFauzan
Bumi itu datar atau bulat?
Pertanyaan itu selalu menggantung di langit-langit pikiranku. Semenjak hadir kembali paham bumi itu datar, membuatku ragu akan kebenaran ilmu pengetahuan. Teori-teori ilmuan terbantahkan, kebohongan-kebohongan NASA terkuak, namun entahlah yang di katakan penganut flat earth society itu benar atau sekedar cari sensasi.
Aku ingin membuktikannya dengan sebenar-benar bukti yang meyakinkan. Bukan hanya sekedar percaya saja. Lalu bagaimana caranya?
Dengan menggabungkan antara ilmu pengetahuan, metafisika, dan agama, aku telah menemukan kesimpulan akhir demi pembuktian bentuk bumi. Aku akan terbang menembus atmosfer, dan dengan mata kepalaku sendiri ku kan melihatnya. Lalu?
Pakai ruh saja. Jasad tinggalkan di bumi.
Dalam video-video bumi datar, di terangkan bahwa belum ada manusia yang sanggup menuju luar angkasa. Penjelasan NASA pernah ke luar angkasa hanya kebohongan, dan roket-roket yang pernah diluncurkan hanya meledak di atmosfer.
Cara ngeluarin ruh gimana?
Yaa.. bunuh diri lah!
***
Banyak sih sebenarnya cara-cara ngeluarin ruh. Ilmu-ilmu ghaib seputar itu bertebaran dimana-mana, sayangnya aku tak percaya semua itu. Mungkin ada juga sih yang mengaku berhasil praktekinnya, namun kebanyakan cuma kesurupan atau halusinasi sesaat.
Bunuh diri itu sakit lho.
Tapi dengan alat-alat yang kurancang, kukira semua beres!
Dalam laboratorium, telah siap alat-alat tuk memulai perjalanan menembus berbagai alam. Sebuah tabung seukuran manusia yang terhubung dengan penyetabil suhu, kitab-kitab primbon, buku-buku rajah beserta sesajinya, semua siap. Seorang kawanku, Adrian, jadi operator yang mengatur hubungan antara ruhku dengan jasad, agar aku tak benar-benar mati.
Sedikit cerita selingan tentang mimpiku semalam yah!
Sehari sebelum kumantapkan tekadku, aku bermimpi berdiri di tengah kegelapan. Tiba-tiba semua terang seperti siang bolong, lalu ada sebilah pisau menembus perutku dari belakang! Ketika kulihat orang di belakangku, ternyata ia Adrian!
Itu hanya mimpi lho. Bunga tidur tanpa makna.
“Tertanggal 5 Agustus, engkau akan memulai perjalananmu. Tingkat keberhasilan adalah 10%. Jika gagal, pilihannya adalah mati. Kau siap?”
Aku mengangguk pada Adrian setelah masuk ke dalam tabung. “Siap”
Tabung menutup rapat. Selang-selang infus terpasang. Mesin-mesin di jalankan. Untuk memulainya, aku meminum kopi yang telah di campur sianida. Pening menjalari kepalaku, tubuhku kejang-kejang hebat, Adrian lalu menyuntikkan penawar racun yang telah di campur morfin 0.5 gram. Mataku memerah, rasanya perih sekali. Mengerjab-kerjap dalam gelap. Tanpa rasa.
Desir halus terasa di tengkukku. Syaraf-syaraf tercerabut satu per satu. Mulai dari kaki, ke pusar, lalu kerongkongan. Nah, saat di sinilah rasanya seperti di panggang hidup-hidup di atas bara api, atau seperti ketika lehermu tertancap tombak bercabang hingga menembus tengkuk lalu di cabut paksa. Kira-kira rasanya seperti itulah.
Namun, samar telingaku menangkap lengking sirine darurat. Aku tak tahu apa yang terjadi, yang jelas rasanya seperti ribuan tombak bercabang menembus sekujur badanku, lalu di tarik, lalu menembus kembali, beratus-ratus kali amat menyiksa.
Kemudian perlahan berkurang, stabil, rasanya ringan.
Tanpa kusadari, tubuhku melayang-layang di atas ruangan. Kulihat jasadku kejang-kejang hebat, hingga hidung dan sela-sela mataku mengeluarkan darah tanpa henti. Adrian berkali-kali menyekanya, tak kunjung reda.
Coba kusentuh jasadku, namun tembus. Sejenak ku merasa panik, coba kumasuki jasadku. Tak bisa. Wajah Adrian makin pias, tubuhku bergetar hebat makin membiru. Lalu tanpa ragu, Adrian mengambil sebilah pisau.
Ujungnya yang runcing menembus dadaku. Adrian membisikkan kata maaf.
Tiba-tiba, ruhku tersentak ke atas seperti tersedot. Terus menembus atmosfer, kutahan perih menjalari sekujur tubuh dengan kupejamkan mata.
Sampai di angkasa.
Tak dapat kulihat bentuk bumi.
Yang ada hanyalah ribuan makhluk bersayap yang besarnya menutupi cakrawala. Salah satu dari mereka ternyata sejak tadi mengamitku menuju lebih ke atas lagi. Lebih tinggi lagi. Hingga akhirnya ia lalu melemparku dalam kubangan api.
“Ia mati bunuh diri” begitu bisiknya pada makhluk sejenisnya.
Aku tenggelam dalam siksaan tanpa akhir!
…..
‘Gedebuk!’
“Arrgh…!!”
 Aku terjatuh dari kursiku. Di atas meja belajar, dimana-mana masihlah terserak benda-benda penelitian yang belum sempat kuselesaikan. Semua hanyalah ilusi.
“Mimpi sialan!” gerutuku.
Semarang, 06 September 2016