Percobaan Bunuh Diri
Bumi
itu datar atau bulat?
Pertanyaan
itu selalu menggantung di langit-langit pikiranku. Semenjak hadir kembali paham
bumi itu datar, membuatku ragu akan kebenaran ilmu pengetahuan. Teori-teori
ilmuan terbantahkan, kebohongan-kebohongan NASA terkuak, namun entahlah yang di
katakan penganut flat earth society
itu benar atau sekedar cari sensasi.
Aku
ingin membuktikannya dengan sebenar-benar bukti yang meyakinkan. Bukan hanya
sekedar percaya saja. Lalu bagaimana caranya?
Dengan
menggabungkan antara ilmu pengetahuan, metafisika, dan agama, aku telah
menemukan kesimpulan akhir demi pembuktian bentuk bumi. Aku akan terbang
menembus atmosfer, dan dengan mata kepalaku sendiri ku kan melihatnya. Lalu?
Pakai
ruh saja. Jasad tinggalkan di bumi.
Dalam
video-video bumi datar, di terangkan bahwa belum ada manusia yang sanggup
menuju luar angkasa. Penjelasan NASA pernah ke luar angkasa hanya kebohongan,
dan roket-roket yang pernah diluncurkan hanya meledak di atmosfer.
Cara
ngeluarin ruh gimana?
Yaa..
bunuh diri lah!
***
Banyak
sih sebenarnya cara-cara ngeluarin ruh. Ilmu-ilmu ghaib seputar itu bertebaran
dimana-mana, sayangnya aku tak percaya semua itu. Mungkin ada juga sih yang
mengaku berhasil praktekinnya, namun kebanyakan cuma kesurupan atau halusinasi
sesaat.
Bunuh
diri itu sakit lho.
Tapi
dengan alat-alat yang kurancang, kukira semua beres!
Dalam
laboratorium, telah siap alat-alat tuk memulai perjalanan menembus berbagai
alam. Sebuah tabung seukuran manusia yang terhubung dengan penyetabil suhu,
kitab-kitab primbon, buku-buku rajah beserta sesajinya, semua siap. Seorang
kawanku, Adrian, jadi operator yang mengatur hubungan antara ruhku dengan
jasad, agar aku tak benar-benar mati.
Sedikit
cerita selingan tentang mimpiku semalam yah!
Sehari
sebelum kumantapkan tekadku, aku bermimpi berdiri di tengah kegelapan.
Tiba-tiba semua terang seperti siang bolong, lalu ada sebilah pisau menembus
perutku dari belakang! Ketika kulihat orang di belakangku, ternyata ia Adrian!
Itu
hanya mimpi lho. Bunga tidur tanpa makna.
“Tertanggal
5 Agustus, engkau akan memulai perjalananmu. Tingkat keberhasilan adalah 10%.
Jika gagal, pilihannya adalah mati. Kau siap?”
Aku
mengangguk pada Adrian setelah masuk ke dalam tabung. “Siap”
Tabung
menutup rapat. Selang-selang infus terpasang. Mesin-mesin di jalankan. Untuk
memulainya, aku meminum kopi yang telah di campur sianida. Pening menjalari
kepalaku, tubuhku kejang-kejang hebat, Adrian lalu menyuntikkan penawar racun yang
telah di campur morfin 0.5 gram. Mataku memerah, rasanya perih sekali. Mengerjab-kerjap
dalam gelap. Tanpa rasa.
Desir
halus terasa di tengkukku. Syaraf-syaraf tercerabut satu per satu. Mulai dari
kaki, ke pusar, lalu kerongkongan. Nah, saat di sinilah rasanya seperti di
panggang hidup-hidup di atas bara api, atau seperti ketika lehermu tertancap
tombak bercabang hingga menembus tengkuk lalu di cabut paksa. Kira-kira rasanya
seperti itulah.
Namun,
samar telingaku menangkap lengking sirine darurat. Aku tak tahu apa yang
terjadi, yang jelas rasanya seperti ribuan tombak bercabang menembus sekujur
badanku, lalu di tarik, lalu menembus kembali, beratus-ratus kali amat
menyiksa.
Kemudian
perlahan berkurang, stabil, rasanya ringan.
Tanpa
kusadari, tubuhku melayang-layang di atas ruangan. Kulihat jasadku
kejang-kejang hebat, hingga hidung dan sela-sela mataku mengeluarkan darah
tanpa henti. Adrian berkali-kali menyekanya, tak kunjung reda.
Coba
kusentuh jasadku, namun tembus. Sejenak ku merasa panik, coba kumasuki jasadku.
Tak bisa. Wajah Adrian makin pias, tubuhku bergetar hebat makin membiru. Lalu
tanpa ragu, Adrian mengambil sebilah pisau.
Ujungnya
yang runcing menembus dadaku. Adrian membisikkan kata maaf.
Tiba-tiba,
ruhku tersentak ke atas seperti tersedot. Terus menembus atmosfer, kutahan
perih menjalari sekujur tubuh dengan kupejamkan mata.
Sampai
di angkasa.
Tak
dapat kulihat bentuk bumi.
Yang
ada hanyalah ribuan makhluk bersayap yang besarnya menutupi cakrawala. Salah
satu dari mereka ternyata sejak tadi mengamitku menuju lebih ke atas lagi.
Lebih tinggi lagi. Hingga akhirnya ia lalu melemparku dalam kubangan api.
“Ia
mati bunuh diri” begitu bisiknya pada makhluk sejenisnya.
Aku
tenggelam dalam siksaan tanpa akhir!
…..
‘Gedebuk!’
“Arrgh…!!”
Aku terjatuh dari kursiku. Di atas meja
belajar, dimana-mana masihlah terserak benda-benda penelitian yang belum sempat
kuselesaikan. Semua hanyalah ilusi.
“Mimpi
sialan!” gerutuku.
Semarang,
06 September 2016