Kamis, 28 Juli 2016

Cerpen : Pena



Pena
By : KhaniFFauzan
 
H-10 (20:50- Distrik satu)
            Desir halus menegakkan pori-pori kulit. Malam ini, angin berhembus dingin sekali seperti suhu es. Dalam keadaan seperti ini, sebagian orang lebih memilih tinggal dalam kamar dan berselimut tebal bagai kepompong, namun tidak bagi Andri. Dalam kamar, dinginnya udara dari celah-celah jendela sedikitpun tak dihiraukannya. Ia lebih tertarik mengamati benda yang siang tadi ia temukan di tengah jalan, sebuah pena.
            Ia timang-timang, ia amati secara seksama benda yang ada ditangannya itu, sesekali ia mainkan benda itu karena rasa penasarannya. Pena yang unik. Warnanya putih mengkilat dengan dua garis hitam dipermukaannya. Ujungnya yang runcing seperti jarum, namun sayang. Beberapa kali Andri menggoresnya diatas kertas, setitik tinta tak keluar juga. Sesuatu yang paling menarik perhatian Andri adalah pangkal pena itu, yaitu ukiran emas bertuliskan ‘Fluch’
“Nak Andri! Ibu minta tolong belikan supermi di warungnya Bu Atik. Malam ini Ibu gak punya lauk.” Suara Ibu memanggilnya dari dapur. Segera Andri beranjak dari kamarnya demi memenuhi permintaan Ibunya itu. Pena-nya ia masukkan ke dalam saku celana.
            Beberapa menit kemudian …
            Malam yang dingin biasanya menyimpan cerita tersendiri yang terkadang tanpa di duga. Benang-benang takdir bagi seseorang di tentukan dengan suatu kejadian yang paling berasa dalam hidupnya. Malam ini, langit meneteskan rintik eligi nan tipis, sedikit menyamarkan suara-suara sumbang yang saling memekik dari mulut orang-orang. Langkah-langkah kaki merubung tergesa seakan ditarik medan magnet yang kuat. Sirine ambulan datang dari ujung jalan demi selamatkan sesosok jasad pingsan berlumuran darah.
            Pukul sembilan tepat, tragedi mencuat. Seorang anak laki-laki tertimpa sebilah besi disamping bangunan yang sedang di renovasi. Beberapa bungkus supermi berserakan di jalanan. Dalam posisi telungkup, darah mengalir pekat dari luka-lukanya.
            Dan di tangan kanannya, tergenggam erat sebuah pena.
H-10 (21:05- Distrik dua)
            Detik-detik melaju cepat, seiring goresan pena yang diayunkan oleh novelis Eiri Kamil. Jarinya menari-nari diatas kertas sejak pukul tujuh tadi. Berlembar-lembar ia habiskan dengan tulisan yang sedemikian banyak. Konsentrasinya terpusat penuh dengan cerita yang dibuatnya, hingga tak dihiraukannya peluh di tengkuk dan perut yang sejak tadi keroncongan. Entah energi apa yang merasuki dirinya, ia terus menulis sampai tangannya melepuh.
            ‘Ctak!’
            Ia banting pena yang digunakannya, karena tak tahan lagi. Tangannya bengkak, memerah seperti bara dan berdenyut denyut perih. Tapi wajahnya tersenyum gembira.
            “Aku telah membuat sebuah cerita yang sangat menakjubkan! Tak kusangka, aku bisa menulis semua ini!” diangkatnya tinggi-tinggi, semua lembar kertas yang telah ditulisnya. Selama dua jam, tak kurang dari seratus lembar penuh dengan tulisannya. Ia masih tak percaya. Awalnya, ia hanya coba-coba menulis cerita dengan pena yang di temukannnya tadi di jalan, selepas pulang kerja dari kantor, tapi malah keterusan dan tak mau berhenti. Berkali-kali dibacanya hasil tulisannya itu, tetap saja ia merasa takjub.
            “Semua ini..” Eiri mengambil pena yang dibantingnya dari lantai. “Semua ini karena benda ini, yah! Aku yakin, ceritaku pasti akan tersebar luas. Namaku akan jadi populer dimana-mana! Dunia akan mengetahui ‘Eiri Kamil’ sang pengarang tersohor yang mampu menembus alam semesta, masa depan, dan seluruh lintasan waktu. Aku tak perlu lagi hidup susah dan terlunta-lunta”
            Tentang pena yang Eiri gunakan adalah pena berwarna hitam tanpa tutup, yang mempunyai dua garis putih di permukaannya. Ujungnya runcing seperti jarum. Pangkal pena itu adalah ukiran emas bertuliskan ‘Fluch’.
            Lalu Eiri memberi judul ceritanya ‘Hitam’
H-7 (22:05-NA_Distrik 5)
            “Three.. two.. one.. start”
            Sebuah roket dari distrik 5 membelah angkasa. Malam ini, satelit terbaru Negara Z diluncurkan bersama dengan dua orang Angkasanot, untuk mengamati keadaan bumi dan luar angkasa dari bulan. Kalian tahu kan, seperti Astronautnya Amerika atau Kosmonautnya Rusia itu. Tapi karena Negara Z punya pusat penelitian luar angkasa sendiri, maka dinamakan Angkasanot, singkatan dari National Angkasanot (NA). Diprediksikan dalam tujuh hari ke depan, bumi akan mengalami sebuah badai yang sangat hebat. Awan Kumulonimbus berarak memenuhi setiap sudut langit dengan hujan derasnya di beberapa negara dunia. Untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk, maka Negara Z meluncurkan sebuah satelit demi mengawasi perubahan keadaan bumi.
            Lagipula akhir-akhir ini, isu kiamat, sering berdengung dimana-mana. Tujuh hari ke depan diprediksi akan jadi catatan hitam sejarah dunia. Itulah sebab utama mengapa satelit terbaru Negara Z diluncurkan. Bagaimana keadaan bumi yang mungkin akan terjadi?
H-3 (12:00-Seluruh Dunia)
            Tak ada yang menyangkal fakta, bahwa Eiri telah menjadi seorang pengarang terhebat di seluruh dunia pada hari ini. Novel yang ia tulis tujuh hari yang lalu telah selesai tiga hari kemudian. Tak ada 48 jam setelah novel tersebut dicetak, seratus ribu kopi habis terjual bak kacang goreng. Seluruh penduduk Negara Z tercengang dengan isi cerita yang ditulisnya. Setelah laku keras di dalam negeri, empat hari kemudian karyanya tersebut telah menjadi rebutan bagi setiap penerbit di seluruh dunia. Saking banyaknya permintaan dari masyarakat, semua staf penerjemah bahasa harus berjuang ekstra keras menyelesaikan setiap kata untuk diterjemahkan, dan unik, hari selanjutnya novel tersebut habis terjual di pasaran.
            Dalam novel ‘Hitam’ karya Eiri Kamil, diceritakan seorang penjelajah waktu bernama Jayana telah melintasi seluruh jagad hingga akhir dunia. Sang tokoh utama mendapat kemampuannya itu melalui percobaan sederhana yang ia praktekkan setelah ia mendengar suara dari langit. Jayana mengukir sebuah lingkaran yang mengelilinginya di tanah dengan beberapa goresan menyilang diantara kedua sudut lingkaran, lalu ia rapalkan ucapan mantra dari langit sembari membayangkan tahun berapa ia akan pindah. Ketika berhasil melintasi waktu, dirinya menemukan sebuah cara dari masa depan untuk mencegah terjadinya kematian dan tragedi, serta mengubah dunia penuh dengan kegembiraan dan kedamaian.
            Seluruh rasa sakit, ia hilangkan. Semua yang terluka langsung sembuh seketika. Tak ada lagi bencana, tak ada lagi pekik nestapa, yang ada hanyalah dunia damai tanpa kematian yang menyedihkan.
            Cerita itu menginspirasi setiap orang saat ini untuk melakukan hal yang sama dengan sang tokoh utama. Apakah yang terjadi? Para ilmuan, filusuf, agamawan, tak henti-hentinya mengucap ‘luar biasa!’ dalam bahasanya masing-masing, karena seluruh teori novel ‘Hitam’ dapat dibuktikan!
            Sayangnya dalam novel yang tebalnya enam ratus lembar itu, akhir ceritanya seperti terpotong begitu saja.
H-1000 Tahun Lalu
            Langit kelabu selimuti Kerajaan Aca. Glegar petir menyambar ganas diantara menara-menara pencakar langit. Seorang lelaki berlari kencang menembus guyuran hujan, sembari sesekali menengok ke belakang, memastikan para prajurit kerajaan tak dapat menemukannya diantara tiang-tiang menara. Tangannya mencengkram kuat sebuah kotak yang diselamatkannya dari kelaliman penguasa Aca. Setelah dirasa posisinya cukup tersembunyi, ia membuka penutup kotak itu dengan hati-hati.
            Peluh dingin menetes dari tengkuknya, terkesiap ketika suara langkah-langkah kaki menuju ke arahnya. Ujung-ujung tombak para prajurit berkilau diterpa kilat, seakan haus akan darah. Mengetahui dirinya terancam, sang lelaki kembali berlari.
            “Hoi! Jangan lari kau!” seru para prajurit. Kejar mengejar kembali terjadi. Sang lelaki berlari memasuki gang-gang sempit diantara menara. Sialnya ia menemui jalan buntu.
            “Apa salahku sehingga kalian ingin membunuhku? Bukankah wajar bila aku hanya menyelamatkan satu saja dari warisan keluargaku?” seru sang lelaki. Para prajurit telah mengepungnya sekarang, tak ada jalan keluar lagi.
            Seorang prajurit angkat bicara. “Engkau telah mengambil sebagian dari harta kerajaan dan menyulut api pemberontakan yang membahayakan kerajaan. Tindakanmu tak pantas untuk diampuni! Serahkan harta itu, dan kami akan menghabisimu secepat mungkin!”
            “Tidak akan! Hingga titik darah penghabisan, akan kupertahankan harta ini demi keadilan! Kalian sudah banyak membunuh orang-orang yang kusayangi, kalianlah yang pantas mati!”
            “Lancang sekali mulutmu itu! Semuanya, habisi dia!”
            Tanpa perlawanan yang berarti, seluruh prajurit mencabik-cabik tubuhnya hingga nyawanya bagai setipis benang. Sang lelaki masih bertahan dari serangan para prajurit. Dengan sisa tenaga yang dimiliki, dibukanya kotak itu dan dia ambil isinya. Para prajurit menghentikan serangannya sejenak, mengamati apa yang ingin dilakukannya.
            Dengan lemah, kedua kakinya berdiri tegak. Sambil menggenggam benda itu, tangannya teracung ke depan. “Suatu hari, benda ini akan mengakhiri dunia!” Kilat mencelap dari langit. “Kedua pena ini, tak ada yang dapat menghentikannya untuk memberi kutukan. Dunia ini kotor, dunia ini penuh nista dan ketidakadilan! Pantas untuk dihancurkan!”
            Dia lemparkan kedua benda itu ke langit. Bersamaan dengan petir yang menyambar, dua pena itu menghilang. Hidup sang lelaki berakhir saat itu juga.
H-1 (00:00-Rumah Sakit Distrik Satu)
            Semilir angin meniup tirai-tirai di celah-celah jendela Ruang Violet 7. Langit kelabu masih menaungi distrik 1, menambah kelamnya suasana malam ini. Di atas kasur yang nyaman, terbaring lemah seorang pemuda yang sembilan hari lalu tertimpa bilah besi bangunan saat beli supermi, Andri. Bilah itu tepat menimpa punggung dan kakinya sehingga membuat tulang rusuk dan betisnya patah. Kecelakaan yang menimpanya untung tidak terlalu fatal, hanya saja kakinya tak bisa diselamatkan. Tulang betisnya yang patah jadi tiga harus diamputasi, tapi ia masih bersyukur nyawanya tertolong saat itu.
            Pena yang ia temukan di amatinya kembali. Selama di rumah sakit, di cobanya terus ujung pena itu, berharap segores saja tinta keluar. Tapi sayang sekali tak sedikitpun pena itu mau mengeluarkan tintanya. Ia mencoba terus didorong penasarannya, mungkin saja kali ini ia harus menyerah untuk mencobanya.
            “Pena yang bagus memang, sayang sekali yah tak bisa digunakan buat nulis” gumannya, sambil mengambil buku harian di mejanya. Ujung pena itu coba ia permainkan untuk corat-coret, saat itulah ia terkejut.
            Sebuah coretan kecil tercipta dari goresan yang ia mainkan. Entah mengapa seperti tangannya digerakkan energi gaib, jari-jarinya dengan luwes menulis sebuah kisah diatas lembaran kertas. Tenaganya tak terlalu cepat, namun juga tak terlalu lambat, sangat halus seperti orang menari. Matanya berkilat-kilat tajam, keringat menetes dari lehernya. Awan berarak kembali turunkan hujan deras, hembuskan hawa dingin menusuk kulit. Embun tercipta pada permukaan kaca jendela, mengalir pelan saat bersatu sedikit demi sedikit. Tirai-tirai berkelebatan, nafasnya terengah-engah. Andri seakan berada di dunia lain.
            Setelah penuh satu buku harian, ia ambil buku yang lain. Hal itu terjadi secara terus menerus hingga matahari bersinar terang menyilaukan mata. Saat itulah baru ia letakkan pena diatas bukunya. Ia memberinya judul ‘Putih’
            Bersamaan dengan itu, angin bertiup kencang menyibak jendela. Engselnya berdecit-decit, kasur Andri berderak-derak, dan saat itulah sesosok makhluk putih bersayap masuk ke dalam ruangannya.
            Sosok itu tersenyum melihat Andri. Perlahan, tangan putihnya menembus dada Andri. Tanpa sempat terkejut, seluruh tubuh Andri terasa ringan. Sosok itu mengamit tangannya, melesat menembus atap hingga ke atas langit.
Dua jam kemudian seisi rumah sakit panik dengan seluruh keadaan didalam Ruang Violet 7. Kertas berserakan dimana-mana, kaca jendela yang pecah berkeping-keping, dan juga muncul sebuah tulisan dilangit-langit ruangan yang menggunakan darah segar.
Tulisan itu masih meneteskan cairan merah kental. Sebuah kalimat besar-besar tertulis menggunakan kalimat Jokerman,
TAK ADA LAGI KEMATIAN’
Hari H-Jam Z (Dunia Gila)
            Seluruh dunia berpesta pora karena setiap orang pasti abadi. Dengan keabadian itulah, tak ada yang mesti dilakukan kecuali menyelenggarakan perayaan internasional. Teknologi berkembang pesat seiring detik-detik terlewati. Seluruh permukaan bumi penuh sesak dengan adanya pembangunan seluruh aspek kehidupan. Orang miskin telah lenyap, peperangan musnah. Perdamaian telah menjadi menu utama yang dapat dirasakan umat manusia, bahkan melintasi jagad raya dan masa lalu sudah jadi hal biasa.
            Tapi inilah masalah yang sebenarnya.
            Dalam cerita ‘Putih’ yang ditulis oleh Andri, kelanjutan aktivitas sang tokoh utama masih berlangsung. Jayana, yang berkali-kali melintasi waktu menyebabkan kekacauan dunia permanen. Sejarah yang harusnya hanya jadi kenangan, kini bisa diubah sesuka hati. Alam semesta menjadi terasa sempit karena semua manusia melewatinya tanpa batas. Orang-orang yang membawa kerabatnya dari masa lalu atau masa depan membuat populasi manusia jadi tak terkendali, ditambah lagi semua bersifat abadi! Karena kematian telah lenyap, dunia jadi padat meski Amerika dan Rusia melenyapkan manusia berkali-kali dengan nuklir. Seperti di film-film imajinasi, setiap tubuh yang terpotong bisa menyambung kembali secara cepat. Tak ada rasa sakit dan sedih, membuat manusia berperilaku seenaknya saja.
            Dunia menjadi gila.
H+5 (Luar Angkasa)
            Dua orang Angkasanot terjaga dari tidurnya setelah dua belas hari tertidur dalam kapsul satelit. Waktunya meleset dari target yang seharusnya tujuh hari, menjadi dua belas hari. Perjalanan yang amat panjang, dari bumi hingga ke bulan. Namun alangkah terkejutnya mereka melihat layar komunikasi mereka yang dipenuhi sinyal ‘SOS’ dan kata ‘Save Earth Now!’ sejak tiga hari yang lalu. Mereka tahu, itu pertanda keadaan genting dibumi saat ini. Secepatnya, mereka menuju ruang pengamat di atas satelit.
            Semua mata membelalak. Tak percaya dengan segala yang mereka lihat.
            “Apa ini?!” Seru mereka berbarengan.
            Jendela kaca berbatasan langsung dengan ruang hampa udara bulan. Di setiap jendela kaca, kini bukan permukaan bulan yang tampak, melainkan wajah-wajah para manusia yang tersenyum mengerikan. Berkali-kali mereka menggumamkan kata ‘Fluch!-Fluch!’ yang dalam bahasa Jerman berarti ‘Kutukan’. Seluruh layar monitor guna memantau keadaan bumi kini dipenuhi gambar manusia berterbangan dimana-mana, seakan gerombolan lebah yang memenuhi angkasa. Ketika mereka melongok keluar, bumi telah tertutup dengan tumpukan manusia hingga menembus berlapis-lapis atmosfer. Tak tampak lagi rupa bumi sebagai planet, melainkan hanyalah sebuah bola yang berisi tumpukan para manusia.
Boyolali, 10 April 2016
.....